Dendam Ilmiah

0
88

Banjir sudah berlalu –mestinya.

Yang belum adalah sentimen-sentimennya. Setiap kali ada masalah di Jakarta gema pilpres mendengung lagi.

Itu seperti luka yang belum sembuh tergores kembali.

Masih juga belum bisa move on.

Bahasa ejekannya saja yang berubah. Dari cebong dan kampret menjadi kutu babi dan kadal gurun.

Bersih-bersih gorong-gorong bisa cepat dilakukan. Bersih-bersih emosi sampai tujuh turunan –kelihatannya.

Ya sudah. Nikmati saja. Itulah kita. Dendam adalah kita. Bully adalah kita. Kita adalah dendam. Kita adalah bully.

Saya masih bersyukur. Tidak ada yang menyalahkan alam. Tidak ada yang menghujat Tuhan.

Ilmu pengetahuan juga harus mengalah. Tidak ada yang mempersoalkan mengapa tidak ada warning.

Semua sibuk liburan. Sibuk tahun baru. Tidak hanya Carlos Ghosn yang memanfaatkan kelengahan akibat keasyikan pesta liburan.

Curah hujan pun tumpah di saat orang asyik bertutup tahun.

Tapi apa yang terjadi seandainya lembaga peramal cuaca turun tangan? Dengan memberi warning habis-habisan bakal turun hujan yang berlebihan? Bahkan yang terbesar dalam 100 tahun?

Jangan-jangan kita juga tidak peduli. Kita bukanlah ilmu. Ilmu bukanlah kita.

Filsafat negara kita tidak menempatkan ilmu sebagai salah satu silanya.

Tidak usah gundah. Filsafat komunis juga tidak menempatkan ilmu dalam doktrinnya.

Setidaknya dulu. Ketika komunis dilahirkan.

Ketika komunisme masih asli. Masih hanya menjadi alat perjuangan kaum buruh. Untuk melawan kapitalis.

Tapi ketika komunis masuk ke Tiongkok harus realistis. Tidak banyak buruh di sana. Yang banyak adalah petani miskin.

Maka komunisme pun berubah. Menjadi alat perjuangan tani. Dari komunis satu kaki (buruh) menjadi komunis dua kaki –buruh dan tani.
Itu di zaman Mao Zedong.

Yang komunisme –meski sudah dua kaki– tetap tidak bisa menyejahterakan rakyat.

Maka komunisme pun dibuatkan satu kaki lagi. Di zaman Deng Xiaoping – pengganti Mao. Menjadi komunisme tiga kaki: buruh-tani-pengusaha.

Masuknya pengusaha ke dalam komunisme diresmikan di zaman pengganti Deng Xiaoping: Jiang Zeming.

Dilihat dari azas dasar komunisme, komunis Tiongkok yang seperti itu bukan komunis sama sekali.

Coba simak.

Komunis adalah alat kaum proletar untuk melawan kapitalis. Tapi di Tiongkok prinsip itu dihancurkan. Justru si kapitalis dimasukkan sekalian ke dalam komunisme.

Opo tumon!

Dan itu pun belum cukup.

Memang Tiongkok cepat maju. Bisa menjadi negara no. 2 di dunia. Tapi merasa masih punya kekurangan.

Tiongkok harus maju lagi. Ingin menjadi nomor satu, mengalahkan Amerika.

Komunisme tiga kaki dianggap kurang kuat. Ibarat meja, kakinya harus empat –kalau ingin kokoh.

Maka dicarilah kaki keempat itu. Ketemu: ilmu pengetahuan. Sesuatu yang tidak ilmiah dianggap tidak sesuai dengan prinsip komunisme.

Itulah komunis empat kaki: buruh-tani-pengusaha dan ilmuwan.

Teknologi harus maju.

Kalau ingin menjadi nomor satu.

Dalam hal cuaca targetnya bukan saja mampu meramalkan cuaca –tapi sampai ke mengubah cuaca.

Ilmuwan harus bisa membantu petani –tidak hanya sampai ke soal perkiraan cuaca.

Apakah berarti tidak ada lagi banjir di Tiongkok?

Sayangnya: masih ada. Terutama di bulan Juli dan Agustus. Tapi dampak banjir di sana kian bisa dikurangi.

Tentu kita juga perlu minta bantuan ilmuwan –meski kita bukan komunis empat kaki. Tahap pertama ilmuwan yang bisa membuat peta.

Peta banjir. Yang bisa di akses di HP masing-masing.

Setidaknya penduduk bisa tahu: kawasan perumahan mereka termasuk yang mana.

Kan ada kawasan yang banjir ketika hujan deras berlangsung 3 jam. Itu kelurahan mana saja. RT berapa saja. Warnanya kuning tua.

Ada kawasan yang baru banjir kalau hujan derasnya 4 jam. Diberi warna merah muda.

Dan seterusnya. Merah tua dan merah kehitaman.

Semua orang pun bisa tahu rumahnya di kawasan warna apa. Masing-masing bisa berpikir sendiri apa yang harus dilakukan –kalau hujan deras sudah berlangsung empat jam.

Mungkin tidak harus seperti itu. Ilmuwan bisa menemukan cara yang lebih baik.

Kita memang anti komunis.

Mestinya kita bisa lebih baik dari komunis.

Dendam itu tidak ilmiah sama sekali. (Dahlan Iskan)