JAKARTA-RADAR BOGOR, Kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya membuat kalangan DPR mengambil sikap. Anggota Komisi III DPR RI Andre Rosiade menyatakan, akan memanggil auditor dari Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ditunjuk oleh Jiwasraya, seperti PricewaterhouseCoopers (PWC), yang menyebut bahwa Jiwasraya masih untung.
“Kita akan panggil PWC dan semua pihak seandainya Pansus terbentuk. Yang jelas saat ini prioritas adalah Rapat Gabungan Komisi VI dan XI yang dihadiri Menteri BUMN, Menteri Keuangan, Jiwasraya, OJK,” kata Anggota Komisi III DPR RI Andre Rosiade saat dihubungi, Minggu (29/12).
Pansus itu, kata Andre, rencannya akan dibentuk setelah masa reses DPR berakhir pada Januari 2020 mendatang. Andre menyebut, KAP yang mengaudit laporan keuangan Jiwasraya diduga melakukan kelalaian.
“Ini biar terang benderang. KAP juga gak bener. Aneh masa enggak bisa menemukan masalah itu sehingga ketika ganti direksi 2018 baru tercium,” ucapnya.
Sementara itu, Presiden Direktur Centre for Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri mengatakan, dari pada kasus ini semakin gaduh, maka sebaiknya pemerintah segera mencari solusi atas skandal di perusahaan pelat merah itu.
“Sehinga menjadi bola liar pernyataan yang makin tidak jelas dan tidak bertanggung jawab,” kata Deni dalam keterangan tertulisnya pada JawaPos.com, Senin (30/12).
Karena itu, dirinya menyarankan agar seluruh pihak tidak saling menyalahkan. Tidak perlu menuding OJK lamban dalam menjalankan pengawasan, atau menuduh investasi Jiwasraya di PT Mahaka Media Tbk (ABBA) adalah salah satu pemicu gagal bayar.
“Sebab, justru sebaliknya, investasi Jiwasraya di ABBA menghasilkan keuntungan Rp 2,8 miliar. Itu dikarenakan bisa menjual saham pada saat yang tepat,” katanya.
Sampai 2017, lanjut Deni, Jiwasraya tetap solven dan tidak melanggar ketentuan tentang investasi. Misalnya ketentuan saham maksimal 10 persen dari total investasi per emiten, serta reksa dana maksimal 20 persen dari total investasi untuk setiap Manager Investasi (MI).
Deni mengurai sejumlah catatan Jiwasraya. Pada 2006-2008, OJK sudah mengetahui defisit di Jiwasraya per 31 Desember 2006 sebesar Rp 3,29 triliun. Pada ada akhir 2008, defisit naik menjadi Rp 5,7 triliun. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan Jiwasraya pada 2006 dan 2007 pendapat disclaimer.
Periode 2009-2010, defisit Jiwasraya per 31 Desember 2009 mencapai Rp 6,3 triliun. Kala itu, pemegang saham mengusulkan mengatasi insolvent melalui penyelamatan dengan APBN.
Namun tidak jadi. Setahun berikutnya, manajemen Jiwasraya mengusulkan penyehatan jangka pendek dengan mereasuransikan sebagian kewajiban pemegang polis ke perusahaan reasuransi. Dan mendapat persetujuan oleh otoritas dan pemegang saham.
“Jiwasaraya menjadi solvent. Jumlah kekayaan Jiwasraya menjadi Rp 5,5 triliun dan kewajiban Jiwasraya Rp 4,7 triliun (dari seharusnya Rp 10,7 triliun). Sehingga ekuitas Jiwasraya surplus Rp 800 miliar,” kata Deni.
Periode 2011-2012, keuangan Jiwasraya sempat surplus per 31 Desember 2011 sebesar Rp 1,3 triliun. Pada 2011-2012, regulator meminta Jiwasraya dan pemegang saham menyampaikan alternatif penyelesaian komprehensif dan fundamental.
Selanjutnya pada akhir 2012, pemegang saham menyampaikan alternatif penyelesaian dengan pemanfaatan sinergi BUMN, namun upaya ini tidak terealisasi.
“Ketika Jiwasraya masuk ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), 31 Desember 2012, ada surplus Rp1,6 triliun, dengan catatan masih skema finansial reasuransi. Tanpa skema finansial reasuransi, hitungan otoritas, Jiwasraya masih defisit Rp 5,2 triliun,” ungkapnya. (jwp)