Ghosn In The Box

0
52

Harian Wall Street Journal yang akhirnya unggul. Koran ekonomi dari New York itulah yang paling rinci dalam menulis bagaimana Carlos Ghosn lari dari Jepang.

Terjawab sudah apakah Ghosn masuk peti atau tidak. Saat mantan CEO Nissan-Mitsubishi-Renault itu diangkut dengan pesawat swasta Turki. Dari Osaka di Jepang ke Beirut di Lebanon – -lewat Istanbul, Turki.

Tim security yang disewa Ghosn ternyata amat teliti. Mereka meneliti 10 bandara di Jepang. Untuk mencari celah bandara mana yang bisa diterobos. Yang memiliki kelemahan tertinggi di bidang pengamanan.

Tim itu terdiri dari 15 orang. Mereka menyebar ke berbagai bandara. Akhirnya ditemukan: bandara Osaka-lah yang paling lemah. Khususnya untuk terminal pesawat-pesawat pribadi.

Terminal itu dilaporkan paling sepi. Hanya ada orang kalau lagi ada pesawat pribadi yang datang.

Kelemahan lain adalah: scanner pemeriksaan barang di terminal itu kecil. Barang yang berukuran besar tidak akan dimasukkan scanner.

Peraturannya sebenarnya jelas: barang yang tidak muat masuk scanner harus dibuka. Tapi di bandara Osaka itu prosedur tersebut tidak dilakukan.

Mengapa?

Karena tidak ada ancaman teroris. Tidak ada teroris yang menyewa pesawat pribadi. Untuk apa meledakkan pesawat yang isinya hanya mereka sendiri.

Yang bisa menyewa pesawat jenis itu hanyalah orang super kaya yang takut mati.

Hanya Ghosn orang kaya yang tidak takut mati –bahkan hanya takut masuk penjara.

Maka ia memilih masuk peti besar berwarna hitam. Yang biasa untuk mengangkut peralatan musik. Peti itu dilubangi. Agar Ghosn tetap bisa bernafas.

Berarti tim security Ghosn –salah satunya mantan anggota Baret Hijau tentara Amerika– harus membeli kotak hitam itu dulu. Lalu menyimpan kotak itu di suatu tempat rahasia tidak jauh dari Osaka.

Di tempat rahasia itulah Ghosn dimasukkan kotak. Untuk kemudian diangkut ke terminal pesawat pribadi di Bandara Osaka.

Dua orang penyewa pesawat  itu lewat imigrasi dan pemeriksaan keamanan. Tidak ada masalah. Peti hitam yang mereka bawa pun lolos tanpa dibuka.

Peti itu langsung dimasukkan pesawat yang baru saja tiba dari Dubai. Yakni pesawat jet jenis Global 5000 buatan Bombardier –milik perusahaan persewaan pesawat swasta Turki.

Peti itu cukup longgar untuk sosok Ghosn yang tidak tinggi besar. Mungkin masih cukup ruang untuk memasukkan Bento secukupnya. Ditambah sake atau bir Asahi.

Mungkinkah tempat rahasia untuk masuk peti itu di salah satu gudang bandara?

Atau justru di suatu gudang sewaan dekat Tokyo?

Rasanya tidak mungkin tempat rahasia itu di dekat Tokyo. Perjalanan Tokyo-Osaka bisa 4 jam. Atau 6 jam –tergantung macet atau tidak.

Lebih enak kalau dari Tokyo naik sedan. Yang anti peluru. Warna hitam. Dengan film kaca yang gelap.

Tapi mungkin juga masuk petinya di dekat Tokyo. Agar dari Tokyo ke Osaka pakai mobil box barang. Yang lebih tidak menimbulkan kecurigaan. Siapa tahu ada pemeriksaan di jalan.

Tapi siapa yang mau periksa-periksa di suasana liburan tahun baru seperti itu. Di saat orang Jepang sendiri lagi heboh dengan lomba lari Tokyo-Fujiyama pulang-pergi. Ditambah heboh duel 4,5 jam penyanyi top laki-laki lawan penyanyi top perempuan.

Yang jelas scenario masuk peti seperti itu bisa menyelamatkan banyak pihak. Pilot pesawat pasti selamat –meski sekarang ditahan polisi Turki. Petugas darat bandara Turki juga selamat –meski mereka juga ditahan.

Mereka bisa berdalih sama sekali tidak tahu kalau ada orang bernama Carlos Ghosn di pesawat itu.

Ghosn pasti sedapat mungkin tidak mengeluarkan suara. Selama peti itu diangkat-angkat di bandara. Tenggorokan tidak boleh gatal –yang hanya akan menimbulkan batuk.

Penyebab bersin pun juga harus sudah dihilangkan dari dalam peti.

Hanya petugas darat terminal Osaka yang repot: mengapa tidak membuka peti hitam itu.

Tapi, ya itu tadi, pasti tidak ada barang berbahaya di peti itu. Begitu asumsi mereka. Apa pun asumsinya pasti mereka bersalah.

Ternyata ada bom besar di dalam peti itu.

Yang juga mengguncangkan dunia. Yang juga membuat saya tidak bisa menikmati liburan tahun baru di Australia –demi DI’s Way.

Pengacara Ghosn tentu marah. Baru kali ini punya klien yang mbeling seperti Ghosn.

Tapi sang pengacara berusaha memahami apa yang terjadi.

Menurut pengacara itu ada dua hal yang membuat Ghosn memutuskan lari.

Pertama, larangan bertemu istri di saat liburan Natal.

Kedua, adanya keterangan pers kejaksaan yang aneh. Jaksa mengatakan peradilan Ghosn itu akan memakan waktu bertahan-tahun.

Dua motif itu adalah hasil analisa pengacara. Setelah mendengarkan keluhan Ghosn selama itu.

Di hari Natal itu Ghosn hanya bisa bicara dengan isterinya lewat telepon. Video call. Atas izin pengadilan. Dan harus Didengarkan oleh pengacara.

Di akhir pembicaraan, kata sang pengacara, Ghosn mengucapkan ‘I love you’.

Cinta Ghosn pada Carole –yang dikawini setelah empat tahun bercerai dengan istri pertama– luar biasa.

Belum pernah Ghosn merayakan Natal sendirian –tanpa keluarga. Apalagi di tahanan rumah.

Soal keterangan pers kejaksaan itu sang pengacara menilai tidak tepat. Mengapa yang seperti itu bisa dibocorkan.

Itu membuat wajah peradilan Jepang tercoreng.

Sang Pengacara sudah memberikan keyakinan pada Ghosn bahwa ia pasti bebas. Perkara ini sangat minim bukti. Kalau toh ada kesalahan mestinya lewat proses denda.

Tapi begitu mendengar proses peradilan ini akan berlangsung bertahun-tahun, Ghosn merasa mendapat perlakuan tidak adil.

Sejak itulah rupanya Ghosn merencanakan sesuatu yang out of the box –dengan cara go in to the box.

Ghosn pun tahu kamera di rumahnya memang terpasang 24 jam. Tapi tidak terhubung ke sentral pengawasan.

Menurut putusan pengadilan rekaman kamera itu hanya wajib disetorkan ke pengadilan sebulan sekali.

Begitulah bunyi putusannya. Yakni saat pengadilan mengabulkan permintaan Ghosn agar ditahan rumah. Dengan jaminan uang lebih Rp 100 miliar itu.

Bunyi putusan itu memang aneh. Bahkan mengabulkan penjaminan pun sangat aneh. Di Jepang memang berlaku sistem penjaminan tapi hampir tidak pernah terjadi.

Begitu Ghosn tahu sistem kameranya seperti itu ia merasa mendapat jalan out of the box.

Lalu menghubungilah perusahaan security swasta itu. Yang tim pelaksananya dari berbagai negara.

Boleh dibilang misi tim security Ghosn ini sukses besar. Bayarannya pasti tinggi. Di kontraknya pasti tertulis: berapa ribu dolar untuk mempersiapkan pelarian rahasia itu. Berapa ribu dolar lagi untuk melaksanakannya.

Bisa saja tim sudah merencanakan –berdasar hasil survei– tapi Ghosn tidak setuju.

Tentu ada pertemuan-pertemuan tim dengan Ghosn. Terutama untuk memberitahukan risiko-risikonya. Berikut usaha mitigasinya.

Harus disepakati apakah Ghosn bisa menerima risiko itu.

Termasuk, misalnya, bila kotak persembunyiannya ternyata  dibuka petugas. Apa yang harus dilakukan: menyerah? Tembak menembak?

Kalau Ghosn ternyata menyerah bisa sangat menyulitkan tim. Pasti Ghosn diperiksa soal siapa yang membantunya.

Harus disepakati pula apakah tim itu sudah boleh meninggalkan Jepang begitu peti masuk terminal. Sambil memonitor apakah skenario awal berhasil.

Tentu ada bayaran yang lain lagi kalau misi itu sukses.

Kalau pun gagal di detik terakhir mereka sudah meninggalkan Jepang.

Mungkin Ghosn tidak dibekali pistol. Kalau sampai peti itu dibuka dan Ghosn menembak petugas urusan akan lebih panjang.

Bisa jadi justru Ghosn yang harus dikorbankan. Begitu usaha pelarian ini terbongkar bisa jadi anggota tim itu sendiri yang akan menembak Ghosn.

Urusan pun selesai.

Hanya istrinya yang jadi persoalan. Carole punya terlalu banyak ‘i’ untuk ditinggal mati. (Dahlan Iskan)