Godaan Wan Chai

0
78

Saya harus kembali ke daerah night club dan bar itu. Di Wan Chai itu. Di Hongkong. Hanya di situ ada sport bar yang buka sampai pagi.

Saya harus nonton sepak bola dini hari Minggu kemarin.

Itulah untuk pertama kalinya Minamino diturunkan di Liverpool. Saya ingin tahu seperti apa pemain baru Jepang yang diambil dari Salzburg Austria itu.

Jam 20.00 saya sudah tidur. Untuk bangun jam 00.00. Kali ini saya pilih hotel di daerah Wan Chai. Agar hanya lima menit jalan kaki ke bar itu.

Bulan lalu, ketika di Hongkong saya bermalam di Causeway Bay. Saya pikir ada sport bar di dekat situ yang buka sampai dini hari. Bukankah Causeway Bay lebih ramai dari Wan Chai.

Ternyata tidak.

Sport bar di Causeway Bay tutup jam 12.00 malam. Padahal pertandingan bulan lalu itu pukul 02.00. Akibatnya saya harus jalan kaki hampir satu jam ke Wan Chai.

Memang saya punya uang untuk naik taxi. Tapi saya ingin tahu juga situasi Hongkong jam 2 malam.

Sepi.

Kota itu ternyata punya saat-saat yang sepi juga.

Ups… Salah.

Yang sepi itu di Causeway Bay.

Begitu memasuki Wan Chai masih banyak kehidupan. Masih banyak taxi berhenti di pinggir jalan. Itu taxi yang sudah dipesan. Untuk mengantar penumpang ke jurusan Kowloon. Tidak mau dipakai untuk jarak pendek.

Saya terus jalan kaki di trotoar menuju sport bar. Melewati klub-klub malam. Besar dan kecil. Yang di sela-selanya kadang ada panti pijatnya.

Sesekali saya ditawari masuk ke night klub itu. Yang menawari adalah wanita-wanita yang dadanya setengah terbuka. Dan roknya di atas lutut –atas jauh.

Saya terus melangkah. Sepak bola lebih menggoda.

Keesokan harinya saya dimarahi Robert Lai. Kok tidak mau mengajaknya bersama.

Saya tidak sampai hati membangunkan Robert pada jam seperti itu. Keluar kamar pun saya sangat hati-hati agar istri tidak terbangun.

Sebenarnya enak juga kalau bisa bersama Robert. Agar kami bisa memesan bir dan air putih hangat –birnya untuk ia. Kasihan barnya kalau ke situ hanya beli air putih hangat.

Akhirnya saya memesan air putih dan cola –yang terakhir itu saya tinggalkan utuh.

Tapi saya pernah kasihan saat mengajaknya nonton bola pada jam seperti itu. Ia tertidur.

“Wan Chai masih seru?” tanyanya.

Saya ceritakanlah bahwa saya ditawari masuk klub malam. Di setiap depan pintu night club di sepanjang Wan Chai.

“Dulu di situ ramai sekali. Saya dengar sekarang sudah jauh lebih sepi,” ujar Robert.

Dulu yang ia maksud adalah ketika Hongkong masih dijajah Inggris. Sebelum tahun 1997. Banyak sekali orang Inggris –juga tentaranya– bertugas di Hongkong.

“Sampai ada film tentang malam di Wan Chai,” ujar Robert. “Judulnya The World of Suzie Wong,” tambahnya.

Saya pernah mendengar judul film itu. Tapi belum pernah menontonnya.

Saat melewati Wan Chai ini saya pun kecewa. Kok tidak lagi begitu ramai.

Itu bulan lalu.

Minggu kemarin saya tidak perlu melewati deretan klub malam itu. Hotel saya di Wan Chai begitu dekat dengan sport bar.

Saya pun memilih sport bar yang berbeda dengan bulan lalu. Yang lebih besar –pun layarnya. Saya ingin lebih jelas melihat aksi perdana Minamino.

Saya sudah tahu malam itu Liverpool akan ‘kurang ajar’ lagi. Tidak mau menurunkan pemain inti.

Padahal lawannya musuh bebuyutan satu kampung: Everton. Sama-sama dari Kota Liverpool. Bahkan stadionnya nyaris bertetangga.

Pertandingan ini memang bukan kompetisi Liga Inggris. Yang Liverpool berambisi sekali jadi juaranya tahun ini. Setelah tahun lalu kalah dari Manchester City –hanya kalah satu point.

Ini ‘hanya’ pertandingan Piala FA. Yang Liverpool sudah sering jadi juara. Jangan sampai pemain inti dikorbankan di sini. Agar bisa konsentrasi di Liga Premier.

‘Kurang ajar’ seperti itu pernah dilakukan bulan lalu. Di arena Piala Carabao –melawan Aston Villa. Liverpool hanya menurunkan tim dengan pemain remaja. Kalah 0-5.

Saat itu tim inti lagi di Qatar. Mengikuti final Piala Dunia antarklub. Dan memang berhasil jadi juara dunia.

Apakah di Piala FA ini Liverpool juga ingin kalah 0-5?

Terserah saja.

Yang diturunkan memang masih pemain remaja. Ada yang baru berumur 16 tahun. Si Elliot itu. Pemain lainnya ada yang 17, 18 dan 19 tahun.

Tapi kali ini Liverpool belajar dari Bledug Ijo –ups dari kekalahan 0-5.

Dimasukkanlah ke dalam tim remaja itu tiga pemain senior: Gomez di belakang (23 tahun), Milner di sayap, dan Lallana di tengah. Mereka juga bukan pemain paling inti. Tapi senior. Siapa tahu tidak kalah lagi.

Saya dulu juga disalah-salahkan. Ketika tim Persebaya saya ganti total: muda semua.

Awalnya menang terus. Mainnya gila. Tenaganya seperti kuda. Lari terus. Tidak ada lelahnya.

Sampai tim itu digelari Bledug Ijo –anak gajah hijau. Remaja tapi perkasa. Hijau adalah warna Persebaya.

Pun sampai mencapai semifinal.

Di tahap puncak itu pun masih gila. Menang 3-0 di babak pertama. Memasuki babak kedua masih juga menyerang terus. Tidak pakai taktik taktikan.

Ups… Menjadi 3-3. Lalu kalah adu penalti.

Itulah kesalahan saya. Semua pemainnya terlalu muda. Tidak pakai taktik. Maunya seruduk terus.

Mestinya, kata ahli sepak bola, saya menyelipkan tiga pemain senior di dalamnya –agar bisa main strategi.

Tapi saya puas. Bisa menumpahkan kemarahan dengan mengganti semua pemain. Dan pelatihnya juga setuju saja.

Seandainya Liverpool menyelipkan tiga pemain senior saat lawan Aston Villa itu mungkin kalah juga tapi tidak 5-0.

Betul juga. Lawan Everton Minggu malam kemarin hampir saja kalah. Hampir kemasukan tiga gol –kalau kipernya bukan si senior Adrian.

Tapi akhirnya Liverpool menang. Yang bikin gol pemain 18 tahun. Si Curtis Jones.

Dari pertandingan di Wan Chai itu saya belajar kepemimpinan dari Klopp of the Top. Meski tidak akan memimpin klub sepak bola lagi.

Lihatlah senyum Klopp saat Curtis bikin gol. Itu bukan senyum gembira 100 persen. Itulah jenis senyum yang menggambarkan bahwa gol itu lucu, dibuat dengan cara yang lucu dan ditendang oleh pemain yang masih lucu.

Itulah senyum yang mewakili kata-kata “anak kecil saya pun ternyata bisa mengalahkan Everton”.

Saya jadi ingat saat bermalam di Liverpool tahun lalu. Di hotel Shankly. Yang interiornya serba aksesoris Liverpool FC. Yang banyak kutipan kalimat Bill Shankly, Jurgen Klopp-nya masa lalu.

Salah satu kalimat Shankly yang terbaca di dinding hotel itu: ada dua klub sepak bola di Kota Liverpool. Yakni Liverpool inti dan Liverpool cadangan.

Begitu tidak berartinya Everton kala itu.

Tapi kalau ke Liverpool lagi saya akan bermalam di hotel seberangnya. Yang sekarang mestinya sudah selesai dibangun. Itulah hotel untuk memuja kejayaan masa lalu Everton. Dua hotel ini berhadap-hadapan. (DI’s Way:Shankly Dixie).

Shankly benar. Minggu dinihari kemarin itu tim cadangan Liverpool pun bisa mengalahkan Everton. Padahal pelatihnya sudah baru.

Lihat juga action Klopp saat Lallana meninggalkan lapangan –usai menang itu. Malam itu semua penggemar Liverpool memang memuji penampilan Lallana. Yang belakangan sudah jarang diturunkan itu. Yang selama ini mainnya dinilai kurang baik itu. Sudah terlalu tua itu.

Sering cedera.

Tapi malam itu, ketika Lallana jadi sesepuh di tengah para remaja itu, permainannya luar biasa. Pun bisa main penuh 2×45 menit. Menang pula.

Klopp sendiri seperti terheran-heran dengan keputusannya menurunkan Lallana. Maka ketika pertandingan selesai Klopp menyambut Lallana di pinggir lapangan.

Setelah Lallana sampai di depannya Klopp berdiri tegak. Melepaskan topi – -sambil tersenyum penuh arti. Lantas memberi hormat pada Lallana.

Video adegan ini beredar begitu luasnya. Disertai puja-puji pada Klopp: ini baru bos yang hebat.

Tidak pernah ada pelatih lain yang melakukan itu untuk pemainnya –meski Guardiola mungkin tidak pernah melakukannya dengan alasan lain.

Saya juga memuji Klopp tidak menurunkan senior Xherdan Shaqiri di pertandingan lawan Everton ini.

Di samping karena Shaqiri masih belum sembuh benar juga karena pelatih Everton masih baru.

Tiga bulan lalu saat Liverpool melawan Everton Shaqiri diturunkan. Dan bikin gol. Everton lantas memecat pelatihnya.

Bijaksana sekali Sakhiri tetap cedera – -agar posisi pelatih baru Ancelotti tetap aman. (Dahlan Iskan)