Tim Hukum PDIP Sebut OTT Wahyu Setiawan Cacat Hukum

0
79
Tersangka Komisioner KPU Wahyu Setiawan, usai diperiksa di Gedung KPK Merah Putih, Jakarta, Rabu (15/1). Selain menjalani pemeriksaan sebagai tersangka, Wahyu juga menjalani sidang kode Etik oleh DKPP terkait kasus suap yang menjeratnya. (MIFTAHULHAYAT/JAWA POS)
Tersangka Komisioner KPU Wahyu Setiawan, usai diperiksa di Gedung KPK Merah Putih, Jakarta, Rabu (15/1). Selain menjalani pemeriksaan sebagai tersangka, Wahyu juga menjalani sidang kode Etik oleh DKPP terkait kasus suap yang menjeratnya. (MIFTAHULHAYAT/JAWA POS)
Tersangka Komisioner KPU Wahyu Setiawan, usai diperiksa di Gedung KPK Merah Putih, Jakarta, Rabu (15/1). Selain menjalani pemeriksaan sebagai tersangka, Wahyu juga menjalani sidang kode Etik oleh DKPP terkait kasus suap yang menjeratnya. (MIFTAHULHAYAT/JAWA POS)
Tersangka Komisioner KPU Wahyu Setiawan, usai diperiksa di Gedung KPK Merah Putih, Jakarta, Rabu (15/1). Selain menjalani pemeriksaan sebagai tersangka, Wahyu juga menjalani sidang kode Etik oleh DKPP terkait kasus suap yang menjeratnya. (MIFTAHULHAYAT/JAWA POS)

JAKARTA-RADAR BOGOR, Anggota Tim Kuasa Hukum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Maqdir Ismail menilai operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan cacat hukum. Pasalnya, Surat Perintah Penyelidikan (Sprin Lidik) kasus tersebut dikeluarkan saat pimpinan KPK jilid IV tidak memiliki kewenangan penuh melakukan penindakan hukum.

Maqdir berpedoman pada Keppres Nomor 129/P/2019 tentang Pemberhentian Anggota KPK periode 2015-2019 yang ditandatangani Presiden pada 21 Oktober 2019. Kemudian dalam Keppres lainnya pimpinan KPK jilid V, baru akan dilantik pada 20 Desember 2019.

Artinya sejak tanggal Keppres pemberhentian dikeluarkan, hingga pelantikan pimpinan KPK baru, pimpinan KPK jilid IV dianggap tidak memiliki kewenangan penindakan hukum. Sedangkan penandatanganan Sprin Lidik kasus Wahyu dikeluarkan pada 20 Desember 2019 tepat saat pergantian tampuk kekuasaan komisi antirasuah.

Pimpinan KPK (lama) tidak diberi kewenangan penuh untuk melakukan tindak-tindakan apa yang selama ini menjadi kewenangan mereka,” kata Maqdir di DPP PDIP Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (15/1).

Selain itu, legalitas pimpinan lama KPK juga dipertanyakan Maqdir lantaran ketiga pimpinannya menyatakan menyerahkan mandat KPK kepada Presiden pada 13 September 2019. Tiga pimpinan itu yakni Agus Raharjo, Saut Situmorang, dan Laode Syarief.

Pernyataan tersebut dianggap Maqdir memenuhi unsur pengunduran diri sebagai pimpinan. Bahwa dalam Undang-undang KPK disebutkan salah satu syarat pimpinan KPK berhenti dari jabatannya yaitu ketika mengajukan pengunduran diri, meninggal dunia atau berhalangan tetap, dan lain sebagainya.

Kualifikasi berhenti dengan menyatakan mundur itu sendiri tidak dijelaskan oleh Undang-undang. Serta tidak disebutkan memerlukan harus mendapat persetujuan DPR RI.

Dalam KUHP pimpinan KPK yang lama itu sifat dan kegiatan mereka adalah kolektif kolegial. Ketika ada tiga orang mengundurkan diri mestinya ini (kasus Wahyu) tidak sah. Tidak bisa dilakukan proses hukum oleh mereka,” jelas Maqdir.

Sekali lagi saya tegaskan bahwa, antara 21 Oktober sampai dengan 20 Desember kemungkinan lima orang pimpinan KPK itu tidak mempunyai kewenangan lagi,” pungkasnya. (jwp)