Kisruh dan Potensi Konflik di Laut Natuna

0
72
Ishadi SK (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Ishadi SK (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)

JAKARTA-RADAR BOGOR, Sejak Presiden Jokowi menyampaikan pernyataan kritis terhadap klaim Cina di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, berbagai tanggapan keras terhadap Cina muncul di media, terutama berkaitan dengan pidato Jokowi, “Kita akan mempertahankan kedaulatan di Laut NatunaTidak ada yang namanya tawar menawar mengenai kedaulatan teritorial negara kita.” Jokowi sengaja melakukan pelayaran ke batas utara ZEE face-to-face dengan puluhan kapal nelayan Cina yang sedang menangkap ikan di kawasan tersebut meski dilindungi oleh kapal-kapal besar penjaga pantai Cina.

ZEE Indonesia adalah buah dari perjuangan tokoh-tokoh hukum laut internasional kita sejak 50 tahun lalu. Dipimpin oleh Mochtar Kusumaatmadja dan Hasjim Djalal, mereka berjuang hingga oleh PBB klaim Indonesia diterima UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) pada 1982. Karena itu reaksi Indonesia cukup keras ketika nelayan Cina secara terbuka menangkap ikan di ZEE yang sudah dilindungi oleh PBB itu.

Pada Seminar Majelis Nasional KAHMI, 17 Januari 2020 lalu yang berjudul Konflik di Laut Natuna Utara”, Kepala Staf Angkatan Laut secara tegas memaparkan bahwa cara untuk memenangkan pengendalian di Laut Cina Selatan antara lain melakukan surveillance, lokalisir, pemeriksaan, dan pengusiran nelayan asing dari wilayah ZEE Indonesia. Juga harus terus menerus melaksanakan kehadiran perangkat pertahanan laut Indonesia serta menjaga Air Superiority di wilayah tersebut.

Kunjungan Presiden Jokowi ke Natuna yang diiringi oleh Panglima TNI, para Kepala Staf TNI, dan bulan lalu bersamaan dengan itu dilakukan pembicaraan “di balik layar komunikasi” dengan pimpinan pemerintah Cina yang diprakarsai oleh Menko Maritim telah berhasil meredakan ketegangan dan mendorong kapal-kapal coast guard Cina serta nelayan lainnya keluar dari wilayah ZEE Indonesia.

Pertanyaan besar sekarang adalah akan ada konflik yang akan terus menerus antara Indonesia dan Cina yang mengklaim irisan ”sembilan garis putus-putus” (nine-dash line)’ yang memaksa memasukkan ZEE Indonesia dalam klaim mereka, meskipun garis tersebut hingga sekarang tidak pernah diakui oleh PBB. Klaim Cina itu hanya didasarkan pada ‘Historic Rights’ yang tidak pernah dibuktikan dalam tataran UNCLOS 1982.

Harus diakui bahwa selama ini Indonesia tidak pernah mempunyai program jangka panjang untuk mempertahankan klaim ZEE Indonesia yang dengan susah payah selama puluhan tahun diperjuangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dan Hasjim Djalal. Ada tiga hal yang patut segera dilakukan

Pertama, menetapkan perairan Kepulauan Natuna utara menjadi lokasi pengembangan industri perikanan laut utama Indonesia. Pembangunan pusat industri perikanan dan penangkapan nelayan moderen akan mendorong nelayan dari berbagai pulau yang selama ini beroperasi di Laut Jawa, pindah ke Natuna, sehingga secara signifikan akan memperkuat ketahanan sosial di wilayah tersebut.

Kedua, mengundang pertemuan darurat ASEAN khususnya negara-negara yang selama ini menjalani konflik terbuka dengan Cina: Thailand, Vietnam, Malaysia dan Filipina.

Ketiga, membuka fasilitas pabrik-pabrik pengelolaan minyak dan gas khususnya kepada 12 perusahaan yang sejak 20 tahun terakhir telah menggali sumber-sumber gas dan minyak di sekitar Pulau Natuna, di antaranya Pearl Energy, Lundin, Mubadala yang selama ini beroperasi di Timur Tengah dan Conoco Philllips milik Amerika Serikat.

Sejak abad ke 13 sesungguhnya Natuna sudah digunakan sebagai jalur armada Mongol di bawah pimpinan Kubilai Khan ketika ngeluruk ke Jawa yang waktu itu dikuasai oleh Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Raja Jayakatwang dan Raden Wijaya. Tepatnya tahun 1293 Kubilai Khan mengirimkan pasukan dengan 20.000-30.000 tentara dengan 1000 kapal layar.

Ekspedisi itu untuk menghukum Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari yang menolak membayar upeti dan bahkan melukai utusan Mongol, Mengqi lima tahun sebelumnya. Raja Jayakatwang mengerahkan 100.000 prajurit, namun kalah, 5000 prajuritnya tewas. Pertempuran dilanjutkan oleh Raden Wijaya yang memancing pasukan Cina untuk mendesak dan mengejar pasukan ke pedalaman.

Strategi itu menyebabkan ekspedisi yang diperintahkan oleh Kubilai Khan gagal total. Tidak ada pertempuran lanjutan setelah itu karena Kubilai Khan meninggal dunia. Jejak sejarah ini seharusnya mengingatkan kita betapa strategisnya Natuna dan Laut Cina selatan bagi keamanan dan ketahanan Republik Indonesia.

Peristiwa pencurian ikan di Laut Natuna yang berada di batas perairan Indonesia merupakan sinyal strategis bagi Indonesia untuk memperkuat fokus dan memperkuat wilayah tersebut. Evakuasi ratusan mahasiswa Indonesia dari Wuhan, Cina, kota yang jadi pusat wabah Corona, mendarat di Pulau Natuna (untuk pemeriksaan awal) yang pernah diklaim sebagai teritori Cina bisa menunjukkan semacam “sinyal politik” bahwa Natuna sesungguhnya adalah sepenuhnya teritori Indonesia.(dtk)