JAKARTA-RADAR BOGOR, Pertemuan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dengan pimpinan DPR RI menjadi sorotan publik. Pasalnya, dalam pertemuan itu hadir juga Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar dan Azis Syamsudin. Keduanya diketahui terseret-seret dalam kasus yang sedang ditangani KPK.
Sementara dari lembaga antirasuah, selain Firli turut hadir juga dua Wakil Ketua KPK Lili Pantauli Siregar dan Nurul Ghufron. Sementara itu, lima pimpinan DPR turut menghadiri pertemuan tertutup itu.
Menanggapi hal itu, Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai, Dewan Pengawas KPK harus bisa membuktikan integritas dan kepemimpinan lembaga antirasuah. Terlebih belakangan ini, pimpinan KPK banyak menuai kontroversi.
“Dewas harus bertindak, buktikan integritas dan kebersihan, Dewas jangan sampai digunakan menjadi couver saja, bahwa para komisioner itu juga orang orang yang baik dan berintegritas,” kata Fickar kepada JawaPos.com, Kamis (6/2).
Aktivis antikorupsi ini menilai, etika pimpinan KPK kini sudah tidak dihargai. Menurutnya, hal ini baru terjadi pada era Firli Bahuri. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK telah diatur soal pelarangan mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi.
“Etika saja sudah tidak dihargai, Pasal 36 jo 65 UU KPK harus diterapkan ancamannya 5 tahun penjara,” ujar Fickar.
Menurutnya, upaya pelemahan terhadap KPK bukan hanya terjadi pada revisi Undang Nomor 30 Tahun 2002 menjadi perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Tapi pelemahan lembaga antirasuah juga terlihat dari sikap para pimpinannya.
“Undang-Undangnya total melemahkan, demikian juga komisioner produk pansel untuk mekemahkan, buktinya orang yang sudah jelas melanggar etik tetap dipilih,” sesalnya.
Sementara itu, pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK Ali Fikri menyatakan, pertemuan pimpinan KPK dengan DPR menjalin kerjasama terkait pencegahan korupsi. Ali menyebut, pemberantasan korupsi tidak bisa hanya dilakukan oleh KPK.
“Saya kira apa yang dilakukan ini bagian dari tugas dinas dan itu juga pertemuan bukan ditempat tempat tertentu yang sesuai kode etik kan misalnya di tempat tempat orang yang menimbulkan kecurigaan dan sebagainya, misal di hotel atau di tempat makan atau ditempat hiburan,” kilah Ali.
Ali menampik, jika pertemuan pimpinan KPK dengan DPR disangkut dengan pelanggaran etik. Karena pertemuan itu merupakan kerja pimpinan KPK dengan DPR.
“Pertemuan dengan tersangka, terdakwa atau terpidana atau pihak lain dilarang. Tapi ada pengecualian, kalau ketemu dalam rangka tugas dan sepengetahuan yang lain misal pimpinan atau bawahan harus diketahui atasan dan seterusnya,” pungkasnya.
Untuk diketahui, KPK saat ini tengah menelisik dugaan penerimaan uang senilai Rp 7 miliar kepada Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar. Hal ini ditelusuri penyidik lembaga antirasuah karena mantan politikus PKB Musa Zainuddin mengajukan permohonan justice collaboratore (JC) ke KPK.
Pria yang akrab disapa Cak Imin itu diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) yang menjerat Direktur dan Komisaris PT Sharleen Raya (JECO Group), Hong Arta John Alfred.
Pemeriksaan terhadap Cak Imin diduga berkaitan dengan permohonan Justice Collaborator (JC) yang dilayangkan mantan politikus PKB Musa Zainuddin pada Juli 2019. Sebab, dalam persidangan, Musa menyebut dirinya bukan pelaku utama dalam kasus korupsi proyek infrastruktur di Kementerian PUPR.
Musa sendiri telah divonis sembilan tahun penjara karena terbukti menerima suap sebesar Rp 7 miliar untuk meloloskan proyek infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Maluku dan Maluku Utara tahun anggaran 2016. Uang itu berasal dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir.
Sementara Wakil Ketua DPR yang juga politikus Golkar Azis Syamsuddin juga dilaporkan oleh Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) ke lembaga antirasuah.
KAKI melaporkan Azis berlandaskan pada pengakuan dari mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa. Dalam pengakuannya Mustafa membeberkan pernah diminta Azis Syamuddin uang fee sebesar delapan persen dari penyaluran DAK perubahan tahun 2017. Saat itu Azis di DPR masih menjabat sebagai Ketua Badang Anggaran (Banggar). (jwp)