RUU Omnibus Lawa Cilaka, KSPI Berang Namanya Dicatut Pemerintah

0
76
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan, dirinya tidak pernah diundang sekalipun oleh pihak pemerintah untuk membahas RUU Omnibus Law Cilaka (Zaking/JawaPos.com)
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan, dirinya tidak pernah diundang sekalipun oleh pihak pemerintah untuk membahas RUU Omnibus Law Cilaka (Zaking/JawaPos.com)
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan, dirinya tidak pernah diundang sekalipun oleh pihak pemerintah untuk membahas RUU Omnibus Law Cilaka (Zaking/JawaPos.com)

JAKARTA-RADAR BOGOR,Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian lewat Surat Keterangan (SK) Nomor 121 Tahun 2020 membentuk tim koordinasi pembahasan dan konsultasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). Dalam SK tersebut tercantum nama Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal sebagai anggota tim yang tergabung.

Menanggapi hal itu, Iqbal dengan tegas membantah bahwa dirinya masuk ke dalam tim pembahasan tersebut. Bahkan, ia mengaku tidak pernah menerima ajakan masuk menjadi anggota tim.

“KSPI tidak pernah dan tidak akan masuk ke dalam tim yang dibentuk berdasarkan SK Kemenko Perekonomian nomor 121 Tahun 2020 terkait pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, isi draf itu, KSPI tidak bertanggungjawab atas isi pasalnya,” tegas Iqbal di Hotel Mega Proklamasi, Jakarta, Minggu (16/2).

Pencantutan namanya Iqbal tanpa seizin pihak KSPI dianggap sebagai hal yang sangat mengecewakan, apalagi yang membuat SK itu adalah pemerintah.

“Dicantumkan nama KSPI itu tanpa izin dan tak pernah tahu alasannya apa (tidak tau). Yang jelas RUU itu tertutup dan bertentangan dengan keterbukaan informasi dan juga bertentangan dengan UUD 45,” katanya.

Menurut Iqbal, pembentukan tim itu merupakan suatu hal yang sia-sia. Pasalnya, draf RUU Cilaka itu saja telah dikirimkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanpa ada campur tangan pihak buruh.

“RUU itu sudah diserahkan ke DPR. Itu kan jelas pemerintah enggak butuh tim. Makanya kita menolak untuk masuk ke dalam itu,” tambah dia.

Banyak kontroversi yang terjadi dalam RUU ini, salah satunya adalah tidak adanya perlindungan terhadap tenaga kerja dan hanya berorientasi pada bisnis. Sebab, setelah ditelusuri oleh pihaknya, dalam RUU tersebut terdapat salah satu pasal yang dihapus, yakni upah minimal pekerja yang tergabung dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Pasalnya dipecah-dipecah tapi pas kita rangkum itu hilang upah minimum. Kalau enggak jeli, pasti dianggapnya masih ada, padahal enggak ada hilang semua,” pungkasnya.

Lebih lanjut, Iqbal juga menegaskan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) ini sangat jelas kontroversialnya, dan bisa dianggap telah melanggar konstitusi yang ada. Apalagi Indonesia disebut sebagai negara hukum.

“Itu namanya bukan negara demokrasi dan bukan negara yang Rechtsstaat (negara hukum),” terangnya di Hotel Mega Proklamasi, Jakarta, Minggu (16/2).

Ia menyebutkan hal itu bukan tanpa maksud, sebab setiap UU harus didiskusikan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam hal ini, pemerintah disebut telah menentang hukum.

“Setiap produk hukum harus didiskusikan dengan perwakilan rakyat atau DPR, tapi sekarang pemerintah ingin mengambil domain DPR dan itu melanggar negara hukum dan itu adalah negara diktator, itu kita menentangnya,” tegasnya.

Sebagai informasi, berikut isi dari Pasal 170 Draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja:

1. Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana di maksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini. 

2. Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

3. Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana di maksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.(jwp)