BOGOR-RADAR BOGOR,Menurut Rektor IPB University, Prof Dr Arif Satria, Indonesia berpotensi mengalami krisis air bersih dan diramalkan pada tahun 2025 hampir dua per tiga penduduk dunia akan tinggal di daerah-daerah yang mengalami kekurangan air. Pada 2030, perubahan iklim akan menambah jumlah orang miskin hingga seratus juta jiwa. Harga pangan melambung hingga 12 persen, padahal 60 persen pengeluaran orang miskin untuk pangan.
“Krisis lingkungan dan sumberdaya alam yang dihadapi saat ini bukanlah masalah teknis tetapi krisis tata kelola (governance). Artinya ada kegagalan mengatur tindakan para aktor/pihak (negara, swasta dan masyarakat) yang berkepentingan terhadap sumberdaya. Di antara para aktor tersebut, masyarakat (rakyat miskin) yang posisinya paling lemah. Mereka juga yang paling dirugikan jika terjadi krisis lingkungan. Misal jika terjadi banjir, orang kaya bisa mengungsi ke hotel. Padahal yang paling banyak merusak lingkungan bukan mereka,” ujarnya dalam konferensi pers pra Orasi Ilmiah Guru Besar di IPB International Convention Center (IICC), Bogor (9/1).
Dalam kesempatan ini, Prof Arif mengutip hasil riset yang disampaikan oleh Forsyth. Menurut Forsyth, orang miskin bukan penyebab kerusakan lingkungan melainkan orang kaya yang menggunakan sumberdaya lebih banyak. Orang miskin sangat sadar terhadap dampak negatif dari lingkungannya karena mereka sangat tergantung pada alam untuk hidup. Orang miskin dapat mengelola lingkungan lebih baik jika insentif dan informasi tersedia. Sayangnya pengetahuan tradisional mereka masih diabaikan.
“Bicara tata kelola itu bicara antara interaksi negara, swasta dan masyarakat. Dalam mengelola sumberdaya alam, masyarakat belum diperankan secara optimal. Masyarakat harus diajak dalam kolaborasi. Berdasarkan hasil risetnya, masyarakat pesisir ternyata mampu mengelola sumberdaya alam. Di Lombok Barat, ada sistem sawen. Yakni aturan kapan orang boleh menebang pohon di hutan, menanam padi serta menangkap ikan. Ada otoritas lokal yang bernama mangku alas (hutan), mangku bumi (sawah) dan mangku laut. Masing-masing mangku ini membangun koordinasi dan kolaborasi dalam pengelolaan masing-masing ekosistem. Mereka yakin sawen ini bisa menjaga kelestarian sumberdaya alam. Oleh karena itu, untuk tata kelola baru, kita harus menekankan kolaborasi antara pemerintah, swasta dan masyarakat,” imbuhnya. (Zul)