Dosen IPB University Mengupas Vetiver sebagai Tanaman Konservasi untuk Daerah Rawan Banjir

0
86
Dosen IPB University Mengupas Vetiver sebagai Tanaman Konservasi untuk Daerah Rawan Banjir
Dosen IPB University Mengupas Vetiver sebagai Tanaman Konservasi untuk Daerah Rawan Banjir

BOGOR-RADAR BOGOR,Sebanyak 12 Pemerintah Daerah menetapkan status tanggap darurat setelah dilanda banjir dan longsor yang disebabkan karena hujan dengan intensitas tinggi disertai angin kencang sejak akhir tahun lalu.

Salah satu dosen IPB University Dr Meika Syahbana Rusli menyampaikan terdapat beberapa tanaman yang berpotensi mengurangi bencana longsor. Salah satunya tanaman akar wangi. Tanaman akar wangi (Crysopogon zizanioides) atau yang biasa dikenal vetiver selama ini digunakan untuk menghasilkan minyak atsiri dan digunakan sebagai bahan baku parfum dengan harga yang relatif tinggi. Secara ekonomi, minyak atsiri ini merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia.

“Selain menghasilkan minyak atsiri, tanaman akar wangi dapat menjadi tanaman konservasi lahan dan air karena memiliki akar yang banyak dan panjangnya bisa dua hingga tiga meter. Tanaman akar wangi juga memiliki kekuatan tarik (tensile strength) 1/6 nya besi sehingga ketika menyatu dengan tanah dapat membentuk matriks yang membuat struktur tanah kokoh. Dengan kemampuan membentuk matriks tanah yang solid tersebut, tanaman akar wangi dapat bermanfaat sebagai pencegah tanah longsor,” terang Dr Meika, Pendiri dan Ketua Umum Dewan Atsiri Indonesia (DAI) tahun 2010-2015.

Dosen IPB University dari Departemen Teknologi Industri Pertanian itu menerangkan untuk memanfaatkan tanaman vetiver lebih baik hanya berfokus pada satu fungsi saja yakni konservasi atau produksi minyak atsiri. Hal ini mempertimbangkan perbedaan masa tanam yang dibutuhkan serta mempertimbangkan pemanenan akar tanamannya. Apabila akar dipanen semua secara serentak maka dapat merusak soliditas struktur tanah yang sudah terbentuk.

“Kelebihan tanaman akar wangi adalah mudah tumbuh. Adapun umur tanamannya bisa satu tahun jika akan diambil minyaknya, namun untuk tujuan konservasi lahan, bisa 3-4 tahun, tergantung dengan kondisi tanah. Di Indonesia, penanaman akar wangi saat ini lebih banyak digunakan untuk memproduksi minyak atsirinya dan sebagai bahan produk kerajinan dari akar wangi yang telah kering. Tetapi ada peluang kedua tujuan tersebut dapat digabungkan, jika dapat dikembangkan pola tanam tumpang sari dengan manajemen panen yang selektif,” tambah Dr Meika.

Dr Meika lebih lanjut mengungkapkan harapannya agar perhatian terhadap budidaya tanaman penghasil minyak atsiri semakin ditingkatkan. Terlebih di sisi lain kita juga prihatin terhadap kondisi kerusakan lingkungan yang mengakibatkan bencana banjir sehingga perlu adanya keterpaduan.

“Harapan saya, dapat ditemukan sistem tumpangsari yang memungkinkan akar wangi dapat menjadi tanaman konservasi dan setelah jangka waktu tertentu ada yang dapat dipanen untuk dimanfaatkan minyak atsirinya. Ini tantangan bagi IPB University dalam menemukan pola tumpangsari yang cocok sehingga dapat memberikan nilai ekonomi dan nilai lingkungan pada produk akar wangi ini,” tutup Dr Meika. (SMH/RA)