YLKI Desak Kemenhub Kaji Ulang Kenaikan Tarif Ojol, Ini Alasannya

0
83
Ilustrasi ojek online
Ilustrasi ojek online
Ilustrasi ojek online
Ilustrasi ojek online

BOGOR-RADAR BOGOR, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat resmi menaikkan tarif batas atas dan tarif batas bawah ojek online (ojol).

Minggu Depan Tarif Ojol Jabodetabek Naik, Segini Besarannya

Tarif batas bawah (TBB) ojol naik Rp 250 per km dan tarif batas atas (TBA) naik Rp 150 per km, khusus untuk Zona 2 (Jabodetabek). Kenaikan tarif ini rencananya akan diberlakukan 16 maret 2020 mendatang.

Kenaikan tarif inipun mendapat pro dan kontra. Diantaranya warga Kota Bogor yang kerap menggunakan jasa ojol untuk alat transportasi mereka.

Siska Susilawati misalnya. Warga Cimanggu permai itu meminta kenaikan tarif ojol dikaji ulang atau ditunda. Mengingat saat ini semua serba mahal. “Ya, semua naik. Kalau bisa ditunda dulu aja,” katanya kepada radarbogor.id Rabu (11/3/2020).

Sedangkan Sinta Aruna (19) salah satu mahasiswi di Kota Bogor mengaku tidak mempermasalahkan dengan kenaikan tarif tersebut. “Yang penting pelayanannya ditingkatkan lagi,” katanya saat ditemui radarbogor.id

Sementara itu, menanggapi wacana kenaikan tarif ojol tersebut, YLKI berpendapat bahwa kenaikan belum layak dilakukan, dengan pertimbangan besaran kenaikan pada September 2019 sudah signifikan dari tarif batas atas, yakni Rp 2.500/km untuk batas atas, dan Rp 2.000/km untuk batas bawah, dan tarif minimal Rp 8.000-10.000 untuk jarak minimal.

“Formulasi tarif tersebut sudah mencerminkan tarif yang sebenarnya, sesuai dengan biaya pokok, plus margin profit yang wajar,” kata Ketua pengurus Harian YLKI, Tulus abadi dalam keterangan persnya.

Selain itu, jika saat ini driver merasa pendapatannya turun atau rendah, YLKI berpendapat, itu karena banyaknya tarif promo yang diberikan oleh pihak ketiga. Seperti OVO dan Gopay. Promo tidak dilarang. Tetapi tidak boleh melewati ketentuan tarif batas bawah. “Hal ini yang seharusnya diintervensi Kemenhub, bukan melulu kenaikan tarif,” tuturnya.

Lebih lanjut ia memaparkan, terkait pelayanan, paska kenaikan September 2019, juga belum pernah ada review terhadap pelayanan.

“Kenapa Kemenhub hanya mempertimbangkan kepentingan driver ojol saja untuk kenaikan tarif, tetapi tidak memerhatikan kepentingan pelayanan bagi konsumen, khususnya dari aspek safety? Padahal ojol sebagai ranmor beroda dua sangat rawan dari sisi safety. Dari sisi yang lain, perilaku driver ojol juga tidak ada bedanya dengan perilaku ojek pangkalan, yang suka ngetem sembarangan, sehingga memicu kemacetan,” paparnya.

Terakhir ia mengatakan, terkait dengan komponen tarif, dalam waktu tiga bulan itu paska kenaikan, belum ada dinamika eksternal yang secara signifikan berpengaruh terhadap biaya operasional ojol.

Apalagi, harga BBM juga tidak naik, kurs rupiah stabil. Juga , alasan iuran BPJSKesehatan naik juga tidak relevan, sebab pihak aplikator tidak menanggung BPJSKes pada drivernya, karena hanya dianggap sebagai mitra.

“Jadi, tidak ada alasan kuat untuk menaikkan tarif ojol dalam waktu dekat. Pendapatan drivel ojol juga dipengaruhi oleh kebijakan aplikator yang jor-joran merekrut member baru, tanpa mempertimbangkan suplay and demand yang ada. Kenapa Kemenhub tidak bisa mengatur hal yang demikian?,” tegasnya.

YLKI meminta, Kemenhub tidak terlalu fokus dengan masalah ojol tetapi memikirkan fungsi utamanya. Agar mendorong masyarakat menggunakan angkutan umum masal, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta;

“Dengan alasan-alasan itu YLKI menolak wacana Kemenhub untuk menaikkan tarif ojol. Karena sangat tidak fair bagi kepentingan konsumen. Bahkan YLKI meminta Kemenhub untuk merevisi ketentuan pentarifan ojol yang bisa dievaluasi per 3 (tiga) bulan menjadi per 6 (enam) bulan sekali. Jeda waktu 3 bulan adalah sangat pendek,” tukasnya. (all)