Lock Opo Tumon

0
61

Milan dan Wuhan ternyata beda. Sama-sama di-lock down tapi tidak sama prakteknya.

Itu baru diketahui setelah 300 dokter dari Tiongkok tiba di Milan, Kamis petang lalu. Mereka diperbantukan di Italia yang kian kewalahan.

Di Wuhan sendiri sudah tidak ada pasien baru, Rabu lalu. Demikian juga Kamis keesokan harinya.

“Lock down di Milan ini ternyata longgar sekali,” ujar dokter dari Tiongkok itu. “Kendaraan umum masih ada yang jalan. Masih ada orang yang terlihat di lalu-lalang,” tambah dokter itu seperti dikutip di media di Tiongkok.

Bagi orang Italia mungkin itu sudah dianggap lock down yang mengejutkan. Yang sangat mengerikan. Kota sudah dinilai sebagai kota mati. Jalan-jalan sepi. Toko-toko tutup.

Tapi bukan seperti itu yang dimaksud lock down di Wuhan. Kendaraan umum sama sekali tidak diperbolehkan beroperasi. Bukan hanya dikurangi. Orang harus benar-benar berada di dalam rumah masing-masing.

Karena lock down di Italia sangat longgar tidak mengherankan setelah seminggu pun jumlah penderita baru Covid-19 masih ribuan. Bahkan masih terus di atas 3.000 setiap hari.

Demikian juga jumlah yang meninggal dunia. Sampai melebihi yang meninggal di Tiongkok (sudah termasuk Hongkong, Taiwan, dan Macau).

Lock down di Wuhan tidak seperti itu. Benar-benar lock down keras.

Saya pun minta gambaran konkrit dari jaringan saya di Tiongkok. Seperti apa sih lock down di Tiongkok itu.

Ternyata seperti ini:

Sejak 27 Februari lalu semua orang harus men-download satu apps di ponsel mereka. Nama apps itu: 健康宝 baca: jian kang bao. Artinya: Sehat Itu Harta Karun. Atau: harta karun berbentuk sehat.

Dengan men-download apps tersebut semua orang terhubung dengan pusat kesehatan nasional.

Sejak itu di layar ponsel penduduk muncul status kesehatan mereka masing-masing: Hijau, Kuning, atau Merah.

Ponsel telah berfungsi pula sebagai kartu kesehatan.

Di masa lock down itu semua orang tidak boleh keluar rumah. Kecuali yang diizinkan oleh petugas. Petugas itu berdiri di mulut-mulut gang atau di jalan-jalan.

Bagi yang benar-benar punya urusan penting mereka harus menunjukkan ponsel ke petugas. Mereka harus menunjukkan status kesehatan masing-masing yang ada di layar ponsel.

Kalau layar ponsel mereka warna hijau berarti diizinkan. Tapi terbatas. Misalnya ke supermarket atau ke toko obat.

Tapi kalau layar di ponselnya warna kuning mereka tidak boleh ke mana-mana. Apalagi warna merah.

Dari mana asal status kesehatan itu? Siapa yang memberi status hijau, kuning, atau merah itu?

Semua itu berasal dari big data.

Ketika dulu Anda men-download apps ‘Harta Karun’ itu Anda harus menjawab banyak pertanyaan yang muncul di layar. Pilihan jawabannya sudah ada di bawah pertanyaan. Tinggal pilih.

Sebelum masuk ke bagian pertanyaan, Anda harus membaca deklarasi di situ: bahwa Anda sendiri yang menjawab, bukan orang lain.

Bahwa Anda mengisinya dengan jujur. Bahwa kalau tidak jujur bersedia menanggung konsekuensi hukumnya.

Lalu masuk ke pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaannya banyak: ada 16 soal.

Misalnya ke mana saja selama 14 hari terakhir. Apakah sedang batuk/demam/panas. Apakah pernah ke kantor selama 14 hati terakhir. Di kecamatan mana kantornya.

Dan banyak lagi.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak hanya muncul sekali waktu download.

Itu muncul setiap hari. Sekali lagi: setiap hari. Setiap jam 10.00. Dan setiap hari pula Anda harus menjawabnya –lalu send.

Semua jawaban itu masuk ke sentral data. Terpusat. Jadilah big data. Semua itu terkumpul dalam sebuah big data.

Big data-lah yang menjadi sumber. Untuk diproses. Lalu muncullah status hijau, kuning, atau merah di layar ponsel.

Di bagian atas layar ponsel itu juga terlihat hari, tanggal, bulan, tahun dan jam. Lalu ada foto wajah Anda.

Di bawah foto Anda itulah warna hijau, kuning, atau merah ditampilkan.

Dengan demikian ketika Anda menunjukkan layar ponsel ke petugas akan terlihat foto Anda, tanggal-hari-bulan-tahun-jam, dan status kesehatan Anda: hijau, kuning, atau merah.

“Apakah Anda sendiri yang memasang foto itu di layar apps tersebut?“ tanya saya.

“Bukan,” jawabnya. “Waktu download Apps, saya diminta menghadapkan wajah ke kamera. Wajah saya terfoto. Langsung muncul di Apps itu,” tambahnya.

Berarti big data berperan sangat besar dalam sistem lock down di Tiongkok. Tanpa big data tidak mungkin bisa terkontrol seketat itu.

Begitu modern sistem lock down di Tiongkok.

Pantas kalau dokter yang diperbantukan ke Milan menganggap yang terjadi di Italia itu adalah opo tumon. “Opo Tumon lock down kok begitu”. (Dahlan Iskan)