Amerika terus menyalahkan Tiongkok. Terutama ketika Presiden Donald Trump terus disalah-salahkan rakyatnya: kok lambat sekali dalam menangani Covid-19.
Menlu AS Mike Pompeo menuduh Tiongkok tidak mau memberikan informasi sedini mungkin. Agar AS bisa lebih siap.
Tiongkok membantah tuduhan itu. Bantahannya kian keras dan kasar. “Berhentilah berbohong dengan menggunakan mulut seperti itu,” ujar Hua Chunying, salah satu juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok.
Tiongkok mengaku sudah memberikan informasi itu tanggal 3 Januari 2020.
Pompeo membalas. “Tapi tanggal 5 Januari Tiongkok menghancurkan data-data Covid-19,” ujar Pompeo.
Apa yang dimaksud Pompeo dengan penghancuran data Covid-19 itu?
Pompeo tidak memberikan gambaran lebih rinci.
Menurut catatan saya, data-data virus itu memang sudah pernah dibuka ke dunia internasional.
Saya juga tahu sudah ada lembaga di Indonesia yang mendapat kiriman data itu.
Mestinya, kalau tidak menganggap remeh, Amerika juga sudah mendapatkannya. Siapa pun, asal bisa menunjukkan dari lab mana, bisa mendapat data itu. Asal, setelah melakukan riset lanjutan, bersedia membagi hasil risetnya ke Tiongkok.
Dengan data dari Tiongkok itu ilmuwan di mana pun bisa tahu ‘jenis apakah makhluk lembut sekali’ yang kemudian disebut Covid-19 itu.
Para ahli bisa memahami kode-kode virus tersebut.
Profil dan deskripsi virusnya ada di data itu.
Korea Selatan juga sudah mendapatkannya. Maka Korsel bisa cepat membuat kit untuk melakukan tes Covid-19.
Mengapa Indonesia yang juga sudah mendapatkannya tidak segera membuat sendiri alat tes Covid-19?
Saya tahu jawabnya. Tapi saya belum ingin menuliskannya. Saya khawatir akan menjadi skandal ilmu pengetahuan di sini.
Menulis skandal itu hanya akan menambah keributan. Tidak produktif. Justru hanya akan mengalihkan konsentrasi kita. Toh itu sudah lewat.
Kalau pun ditangani sekarang juga sudah seperti mobil listrik –terlambat.
Lebih baik kita tetap fokus untuk terus mencegah meluasnya Covid-19.
Saya mengerti kejengkelan Amerika itu. Tiba-tiba saja jumlah penderita Covid-19 sudah 46.000. Tadi malam WIB.
Tapi saya juga mengerti kejengkelan Tiongkok pada Amerika. Lalu Tiongkok tiba-tiba menutup akses data itu.
Tidak ada penjelasan dari Tiongkok: mengapa lab di Shanghai itu tiba-tiba ditutup.
Hanya dua-tiga hari setelah data itu dibuka ke dunia internasional.
Lab di Shanghai itu semula menjadi pusat informasi dunia soal Covid-19. Tiba-tiba saja ditutup. Tidak ada lagi yang bisa menghubunginya.
Tidak hanya itu.
Tiongkok juga menolak kedatangan tim dokter Amerika. Yang niatnya untuk membantu mengatasi wabah di Wuhan.
Amerika terus mendesak agar tim medis mereka boleh datang ke Wuhan. Benar-benar untuk membantu Tiongkok –yang mestinya kewalahan.
Tapi Tiongkok tetap menolak tawaran itu.
Amerika sangat marah atas penolakan itu. Perang dagang merembet ke perang soal wabah. Menjadi ‘api dalam sekam’. Membuat Amerika mendidih di dalam sekam itu. Mungkin mirip mendidihnya hati Rahwana saat melihat putrinya, Dewi Shinta, dibiarkan merana di dalam hutan oleh suaminyi: Rama.
Maka Rahwana pun menculik putrinya itu untuk dibawa pulang ke Alengka. Shinta lantas ditaruh manis di istana. Sampai kemudian diculik lagi oleh Hanoman.
Tapi Amerika tidak perlu menculik apa pun. Kalau pun tidak mendapat sampel virus dari Wuhan toh ada cara lain. Kan sudah ada orang Amerika yang pulang dari Wuhan dengan membawa Covid-19.
Bukankah sampel bisa didapat dari orang pertama terinfeksi Covid-19 yang pulang ke Seattle itu?
Sebaliknya aneh juga mengapa Tiongkok tidak mengizinkan tim dokter Amerika menolong Wuhan? Padahal Tiongkok mengizinkan tim dokter dari Perancis dan negara Eropa lainnya untuk membantu. Adakah itu ada hubungannya dengan bunyi tweet dulu itu? Yang diunggah oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok itu? (Lihat DI’s Way: Tuduhan Konspirasi). Yang mengatakan Covid-19 sebenarnya dibawa masuk ke Wuhan oleh tentara Amerika. Yakni tentara yang ikut pekan olahraga militer dunia di Wuhan pada Oktober 2019.
Amerika sebenarnya juga punya diplomat khusus untuk penyakit menular. Yakni orang Amerika yang ditugaskan di Beijing. Khusus untuk bekerja sama dengan lembaga Tiongkok di bidang penyakit menular.
Nama diplomat itu: Dr Linda Quick. Dia ahli virus dan wabah. Dia ahli yang bekerja untuk badan penanggulangan virus dan wabah di Amerika. Selama bertugas di Beijing dia selalu bekerjasama dengan ahli wabah Tiongkok.
Dr Linda Quick bisa segera tahu kalau terjadi suatu wabah di Tiongkok. Tahu dengan sangat cepat.
Tapi kenapa kali ini sampai Amerika mengeluh terlambat tahu?
Dr Linda Quick ditarik pulang oleh pemerintah Amerika. Juli lalu. Tidak pernah ditunjuk penggantinyi.
Sementara itu penderita baru Covid-19 di Amerika kian besar saja. Di satu hati Sabtu lalu saja bertambah 8.000 orang.
Dari keberaniannya menyerang Amerika –secara medsos– Tiongkok seperti masih menyimpan satu kartu as. Entah kapan akan dikeluarkan. Mungkin kalau sudah benar-benar terpojok.
Pojokan itu kian terlihat jelas belakangan. Seorang anggota DPR Amerika, Tim Banks, sudah mulai meluncurkan langkah kuda.
Katanya: Tiongkok harus bertanggungjawab atas meluasnya Covid-19 di Amerika. Yang akan memakan biaya tak terkirakan.
Amerika, katanya, sudah harus menemukan jalan untuk menghukum Tiongkok.
Maka inilah bentuk hukuman yang ia usulkan: Amerika tidak perlu membayar utang pada Tiongkok.
Amerika memang punya utang luar biasa besar ke Tiongkok: USD 1,2 triliun. Itulah yang diusulkan tidak usah dibayar. Bisa dianggap ganti rugi untuk Amerika.
Kalau itu sampai terjadi banyak negara yang juga bisa minta ganti rugi ke Arab Saudi. Yang dinilai sebagai sumber virus MERS.
Tapi apakah kita tega menuntut negara miskin Congo di Afrika karena jadi sumber wabah Ebola?
Pertikaian Amerika-Tiongkok ternyata berseri-seri.
Kita sudah lama tidak bisa menonton sepak bola. Atau menonton langsung Liga Dangdut Indonesia. Tapi kita tidak perlu punya keinginan menonton pertandingan juara ekonomi grup Barat lawan juara ekonomi grup Timur itu.
Pecahan kacanya bisa mengenai penontonnya. (Dahlan Iskan)