APD Ijon

0
61

Anda sudah tahu: Amerika Serikat sudah mengalahkan Tiongkok. Dari segi jumlah penderita Covid-19.

Anda sudah tahu: Italia sudah mengalahkan Tiongkok. Dari segi jumlah yang meninggal karena Covid-19.

Mungkin Anda belum tahu: Indonesia sudah mengalahkan Tiongkok. Dari segi jumlah dokter yang meninggal karena Covid-19.

Di Tiongkok dengan jumlah penderita 82.000 orang dokter yang meninggal 6 orang. Di Indonesia, dengan jumlah pasien 1.000 orang, dokter yang meninggal 9 orang.

Tapi di Italia lebih banyak lagi dokter yang meninggal.

Suatu hari, awal Maret lalu, saya menerima kiriman WA seorang teman di Jakarta. Isinya: foto anaknya yang lagi mencoba mengenakan jas hujan. Si anak seorang dokter muda. Dengan prestasi tinggi.

Tidak ada nada mengeluh di WA yang menyertai foto itu. Tapi hati saya serasa tertusuk paku. Itu di Jakarta. Bagaimana di luarnya?

Saya tahu sudah banyak kisah kepahlawanan dokter Indonesia. Yang dengan alat minim bisa menyelamatkan banyak nyawa. Misalnya dokter yang bertugas di Papua. Seperti yang pernah muncul di acara TV, Kick Andy.

Tapi kali ini yang dihadapi dokter adalah wabah. Yang kelasnya tertinggi di antara wabah yang pernah ada.

Jas hujan bukanlah senjata yang memadai bagi dokter.

Lalu saya menerima kiriman banyak foto serupa. Beberapa dokter di Lombok berfoto bersama: dengan seragam jas hujan.

Juga dari Pare, Kediri.

Dari lain-lain lagi.

Saat itu saya lagi di kebun buah milik seorang teman. Lagi di bawah pohon durian. Teman saya pelan-pelan mendekati saya. Takut terjadi sesuatu pada diri saya. Tapi ia tahu. Kami harus menjaga jarak.

Akhirnya ia tahu. Saya lagi mengusap air mata. Yakni setelah membuat video di bawah pohon durian itu. Sahidin, yang selalu mendampingi saya, yang merekamnya.

Hati saya terasa tertusuk melihat dokter mengenakan jas hujan itu. Jas hujan kok untuk menangani wabah yang demikian berat.

Seorang teman lantas melihat video itu. Lalu mengajak saya mencari APD. Kami sama-sama sering ke Tiongkok –beda jurusan. Tapi kali ini dia juga lockdown sukarela.

Dia menyerahkan sejumlah uang kepada saya. Saya pun cari-cari di mana bisa beli APD. Kalau pun harus impor bagaimana caranya.

Jaringan saya di Tiongkok saya hubungi. Mereka sudah siap membantu. Tapi akhirnya saya menghubungi seorang teman yang punya pabrik tekstil. Di Solo.

Saya tahu, di Tiongkok pabrik popok bayi pun diubah menjadi pabrik masker. Itulah yang terjadi saat Covid-19 mewabah di sana.

Tentu pabrik tekstil punya kemampuan untuk berubah jadi produsen APD. Dalam kapasitas yang besar.

Ternyata saya telat tahu. Pabrik tekstil tersebut, Sritex, juga sudah mulai memproduksi APD. Belakangan.

Saya pun langsung menghubungi bos besarnya. Saya pun sudah bisa memesan APD di Sritex. Tentu, harus kirim uang dulu. Setelah itu barulah APD-nya dibikinkan. APD pesanan itu baru bisa diterima dua minggu setelah uang dikirim.

Saya pun langsung mengirim uang. Kini saya lagi menunggu kiriman APD tersebut.

Harganya memang Rp 1 juta/buah. Tapi bisa dicuci 10 kali –dengan air panas 40 derajat. Lalu disetrika dengan tingkat panas medium.

Saya pikir ini lebih murah daripada Rp 250.000 sekali pakai. Made in Indonesia pula.

Tentu pesanan saya ini amatiran. Hanya sesuai dengan jumlah uang yang ada.

Tapi setidaknya kita sudah lebih tenang. Ada pabrik APD di dalam negeri. Dengan kapasitas 3000 buah/hari. Yang masih bisa ditingkatkan menjadi 5000 buah/hari. Berarti sebulan bisa produksi 150.000 potong.

Tidak ada alasan lagi bagi siapa pun untuk tetap menggunakan jas hujan. Semoga juga tidak menjadi isu lagi: dokter yang tidak dilengkapi APD tidak akan diizinkan menangani pasien Covid-19 –seperti yang dinyatakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Tentu, APD juga harus untuk perawat. Jumlah perawat yang tertular jauh lebih besar dari dokter. Pun di Tiongkok.

Di Asia, perawat lebih menderita –pun secara batin. Pun di Singapura. Pun di India. Contohnya di Jakarta itu: perawat diminta pindah tempat kos. Dianggap akan menularkan penyakit.

Di Singapura perawat sulit menyegat taksi. Media di Singapura menulis pengalaman itu. Sampai taksi yang ke-5 pun belum mau.

Setidaknya di Indonesia kini sudah ada yang memproduksi APD besar-besaran.

Tantangan terbesarnya tinggal di birokrasinya: bisakah mengalihkan anggaran proyek ke pembelian APD. Terutama kalau komisinya ternyata sudah terlanjur diijon. (*)