Banyak presiden di dunia ini tapi hanya satu yang seperti Donald Trump: Jair Bolsonaro. Bahkan Presiden Brasil itu lebih nge-Trump dari Trump sendiri.
Bolsonaro terus keliling negara. Ia berkampanye agar rakyatnya jangan mau disuruh lockdown. Jangan mau melakukan social distancing.
Tapi Gubernur Sao Paolo tetap saja me-lockdown wilayahnya.
Bolsonaro tidak peduli. Ia terus keliling daerah. Ia ke pasar-pasar. Ia mengajak salaman siapa saja yang ia temui.
“Teruslah bekerja. Agar ekonomi tidak runtuh,” ujarnya.
Tapi kian banyak saja gubernur yang me-lockdown wilayah mereka.
Sampai kemarin belum ada tanda-tanda Bolsonaro menyerah. Ia terus menyadarkan rakyatnya bahwa Covid-19 ini urusan kecil. Lebih kecil dari flu. Demamnya pun jenis demam biasa saja.
“Semua orang bisa mati. Mati itu urusan Tuhan,” katanya.
Tapi hakim Agung membuat putusan: melarang presiden mencegah dilakukannya lockdown di daerah-daerah.
Tetap saja Bolsonaro belum menyerah. Biar pun sudah 4.500 orang yang terkena Covid-19. Dan sudah 140 yang meninggal dunia.
Bolsonaro terus ngotot agar ekonomi jangan sampai runtuh. Ia terus berkeliling negara. Tapi ia mendapati jalan-jalan kian sepi. Pantai Copacabana sepi. Rio de Janeiro sepi. Pertokoan sepi. Restoran sepi.
Kelihatan sekali Bolsonaro ikut aliran Donald Trump. Yang juga menganggap remeh Covid-19. Yang dinilai lebih remeh dari flu. Yang penderitanya toh tidak banyak. Yang obat malaria pun sudah bisa mengatasi.
Ketika angka penderita Covid-19 di AS akhirnya melebihi Tiongkok Trump masih bisa berkilah: ia tidak percaya angka di Tiongkok itu benar.
Ketika angka itu naik terus –pernah tiga hari berturut-turut di atas 15.000/hari– apa kata Trump?
“Kalau yang meninggal nanti bisa di bawah 100.000 itu menandakan hasil kerja kita cukup bagus,” ujarnya Senin lalu. Itu diukur dari pernyataan para ahli bahwa korban meninggal akibat Covid-19 di AS nanti bisa 200.000 orang.
Padahal pendapat ahli itu sekedar untuk menekan Trump. Agar mau melakukan sesuatu. Kalau tidak, yang mati bisa 200.000.
Ups… Itu justru dipakai untuk ukuran kinerja.
Trump sendiri sebenarnya sudah berubah. Tidak seperti Bolsonaro. Trump sudah mulai terlihat lebih serius. Hanya saja ia memang jengkel kepada para gubernur. Yang dianggap kurang memberikan apresiasi pada kebijakannya.
Dan watak Trump memang selalu melawan siapa pun yang menyerangnya. Istrinya sendiri sudah pernah mengingatkan siapa pun: jangan melawan Trump. Suaminyi itu pasti akan balik menyerang. “Serangan balik itu bisa sepuluh kali lebih keras,” ujar Melania Trump suatu hari di tahun pertama masa jabatan suaminyi itu.
Seminggu kemudian Trump mengoreksi pernyataan istrinya itu. Yakni ketika diwawancara Fox TV. “Saya akan serang balik 100 kali lebih kuat,” ujarnya.
Maka rumah sakit di Amerika pun mulai siap-siap keadaan yang memburuk. Pun sampai ada grup rumah sakit yang membuat surat yang menghebohkan.
Surat itu bikin ternganga banyak orang.
Apa? Di mana itu etika? Mati sudah tidak di tangan Tuhan?
Surat itu tertanggal 26 Maret 2020. Tentang perlakuan kepada pasien Covid-19.
Yakni mengenai apa yang harus dilakukan kalau ICU tidak cukup lagi. Kalau jumlah alat bantu penafasan tidak memadai.
Misalnya, ada 10 pasien yang sama-sama memerlukan alat itu. Sama-sama sudah sulit bernafas. Sedang alat penafasannya tinggal dua buah. Itu pun sudah dipasang di dua pasien sebelumnya.
Siapa yang akan dipasangi alat bantu pernafasan? Termasuk apakah yang sudah dipasang itu harus dipindah ke pasien lain?
Demikian juga dengan ICU. Siapa yang diberi prioritas dimasukkan ICU? Perlukah yang sudah di dalam ICU dikeluarkan untuk diisi yang lebih memerlukan?
Copy surat itu beredar di medsos. Yang mengirim: manajemen grup rumah sakit Henry Ford Health System. Yang memiliki 6 rumah sakit di seluruh negara bagian di Michigan.
Pabrik utama mobil Ford memang dibangun di situ. Pada 1915 Henry Ford membangun rumah sakit. Sekarang rumah sakit tersebut berkembang pesat. Omsetnya sekitar Rp 60 triliun tahun lalu.
Negara bagian Michigan termasuk yang paling parah. Nomor tiga setelah New York dan California. Sudah menggeser Washington.
Anda sudah tahu: tiap hari jumlah penderita Covid-19 di Amerika naik drastis. Lebih 15.000 satu hari. Kamis, Jumat dan Sabtu lalu.
Kalau perkembangan itu terus memburuk dan fasilitas di rumah sakit tidak cukup maka dokter harus membuat prioritas.
Kenyataannya, tulis surat itu, ada pasien yang sudah sangat gawat. Sudah sangat kecil kemungkinan untuk sembuh. Pun seandainya terus dirawat di ICU. Dan sudah diberi ventilator.
Maksudnya: pasien seperti itu harus direlakan untuk mati. ICU bisa untuk pasien lain yang lebih memiliki harapan hidup. Demikian juga ventilator. Bisa dicabut dari pasien gawat. Untuk dipasang di pasien baru.
Dalam kondisi yang gawat nanti akan ada evaluasi. Akan ada batas waktu penggunaan ICU. Kalau sudah melewati batas waktu itu dan si pasien belum menunjukkan kemajuan maka tidak ada artinya lagi terus dipertahankan. Diteruskan pun tidak memberi harapan. ICU diperlukan untuk pasien lain.
Keputusan itu, kata surat tersebut, didasarkan kondisi saat itu. Tidak ada hubungannya dengan ras, gender, agama, asuransi atau pun status keimigrasian.
Heboh.
Keputusan untuk mati ternyata tidak lagi di tangan Tuhan. Etika dokter pun dipersoalkan.
Perusahaan rumah sakit itu langsung jadi sorotan. Ada yang marah. Ada juga yang memahami.
“Pada dasarnya semua rumah sakit punya pikiran seperti itu,” kilah manajemen perusahaan itu kepada media di Amerika.
Di Michigan –apalagi di New York– suara sirine ambulan seperti tidak henti-hentinya. Dokter, perawat, rumah sakit berada dalam tekanan besar.
Kabar baiknya: pesawat pertama yang membawa 80 ton bantuan alat kesehatan dari Tiongkok mendarat di New York kemarin sore.
Isinya: 130.000 marker N95, 1,8 juta masker, 10 juta sarung tangan, dan alat kesehatan lainnya.
Pesawat berikutnya akan terus datang dari Shanghai.
Lho.
Ponirin masih bakar tikar
Tangerang sudah panen ikan
Kemarin masih bertengkar
Sekarang sudah baikan. (Dahlan Iskan)