JAKARTA-RADAR BOGOR, Kontrak pemain saat pandemi Covid-19 terus menjadi polemik. Yang terbaru adalah lahirnya enam poin hasil virtual meeting jilid kedua yang diikuti 14 klub Liga 1 (11/4/2020). Hasil kesepakatan dari virtual meeting jilid kedua tersebut disoroti Asosiasi Pemain Profesional Indonesia (APPI).
Kuasa hukum APPI, Riza Hufaida, menyatakan bahwa enam poin hasil virtual meeting itu sangat ngawur. Sebab, setelah PSSI mengeluarkan SK tentang gaji maksimal 25 persen, klub-klub Liga 1 sudah menentukan sendiri kontrak para pemain pada musim ini dan selanjutnya. ’’SK dari PSSI saja dari sisi formalitas atau etika sudah salah. Ini ditambah lagi hal yang ngaco,’’ tegasnya.
Dari SK, misalnya, PSSI sudah salah karena tidak mengajak bicara klub, pemain, dan stakeholder lain saat memutuskan status force majeure dan pembayaran gaji maksimal 25 persen. Menurut Riza, FIFA sebagai induk organisasi sepak bola dunia tidak pernah mengeluarkan wewenang seperti itu. ’’Mereka malah menyuarakan atau mendorong klub dan pemain berkomunikasi secara intens agar ditemukan satu solusi. Tidak ada perintah federasi setiap negara bisa menentukan begini begitunya,’’ ujarnya.
Lantas, mengenai enam poin yang dihasilkan, Riza menuturkan bahwa klub tidak bisa seenaknya membatalkan kontrak ketika nanti kompetisi berhenti. Riza merujuk poin kedua di antara enam poin hasil virtual meeting kedua. Menurut dia, klub harus membayar kompensasi sebagaimana yang sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
’’Cek pasal 104 ayat 1. Di situ dikatakan, jika terjadi pemutusan kerja akibat force majeure, pengusaha wajib memberikan pesangon sebesar satu kali pasal 156. Jadi, kalau batal tidak dapat apa-apa, itu salah,’’ jelasnya.
Kemudian, pasal ketiga yang menyebut status pemain untuk musim 2021 tetap sesuai dengan daftar dan klausul kontrak pada musim ini. Alias, tidak ada bursa transfer pada musim depan. Riza menegaskan bahwa klub makin seenaknya sendiri terhadap pemain. ’’Ketika kontrak dibatalkan, pemain sudah free agent, bebas ke mana saja, termasuk yang dikontrak dua sampai empat tahun. Ketika klub ingin pakai jasa pemain lagi, harus ada kontrak baru,’’ terangnya.
Riza mempertanyakan akal sehat para pemilik klub Liga 1. Sebab, poin-poin yang dikeluarkan dari hasil virtual meeting kedua itu sangat kontradiktif antara satu dan lainnya. ’’Di satu sisi, ngomong kontrak putus. Di satu sisi lagi, pemain tidak boleh pindah. Itu bagaimana ceritanya?’’ katanya.
APPI sangat memahami kondisi finansial akibat pandemi korona. ’’Tapi, jangan dimanfaatkan seenaknya sendiri. Tidak bisa seperti itu,’’ tuturnya.
Riza menjelaskan, pemain sebenarnya menerima ketika gajinya dipotong sejak Mei hingga Juni. Sebab, tidak ada latihan ataupun aktivitas bersama klub. ’’Tapi, ya diajak bicara baik-baik. Kalau bilang gaji dipotong, ada konsekuensinya lho kalau yang 10 persen di bawah UMR. Pemain sekarang secara hukum dilindungi UU Ketenagakerjaan. Itu harus dicatat klub,’’ paparnya.
Saat ini APPI menyiapkan gugatan kepada klub untuk ditujukan kepada NDRC. Terutama soal pemain yang tidak dibayar 100 persen pada Maret kemarin. Sebab, pada Maret lalu, pemain menjalankan kewajiban kontrak, berlatih dan bertanding. ’’Hukumnya, gaji Maret harus dibayar full. Tidak wajar kalau hanya dibayar 25 persen atau kurang. Kami sedang memprosesnya. Kalau memang klub tidak bayar, itu tetap kami anggap utang untuk musim selanjutnya dan akan kami ajukan ke NDRC,’’ tuturnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT LIB Cucu Somantri angkat bicara tentang sikap keberatan APPI mengenai kontrak pemain. Dia tidak bisa berbuat banyak atas kesepakatan klub-klub Liga 1 dengan enam poin hasil virtual meeting kedua. ’’Saya kira ketentuan menghadapi situasi force majeure sudah tertulis dalam kontrak. Semoga harus saling memahami. Kondisi ini di luar kemampuan semua pihak,’’ papar Cucu. (jpc)