Berdiri di Garis Keterbatasan dan Kemandirian Perempuan

0
79
Ummi Wahyuni

Perempuan merupakan kata yang ketika orang membicarakannya tidak akan cukup waktu dan kata untuk membahasnya. Banyak sudut pandang yang bisa kita gali untuk dijadikan topik bahasan dalam diskusi. Waktu pun tak merlukan waktu khusus untuk kita bisa membahasnya, karena dapat dilakukan dalam waktu bahasan serius maupun santai.

Kata perempuan dalam Bahasa sangsekerta berasal dari kata “empu” yang memiliki arti dimuliakan, sehingga oleh sebagian para aktifis perempuan dianggap lebih “politically correct” dibandingkan dengan penggunaan kata “wanita” yang dalam Bahasa sangkerta mengandung arti orang yang berhias wajah sehingga hanya diidentikkan pada makna fisik semata.
Indonesia sebagai negara hukum sudah banyak sekali mengeluarkan aturan yang bersangkutan dengan urusan perempuan baik di ranah domestic maupun di ranah publik.

Sebagai salah satu negara yang menginisiasi dan menandatangani Konvensi CEDAW Indonesia juga harus mengimplementasikan kesepakatan kovensi tersebut. Konvensi CEDAW dengan 16 pasal yang sangat erat kaitannya dengan hak perempuan dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
Secara lebih detail pun Indonesia telah membuat strategi hak perempuan dan peningkatan peran perempuan dalam sebuah intruksi presiden No 9 tahun 2000 tentang Pengarus Utamaan Gender (PUG) dalam pembangunan Nasional.

Berbicara tentang perempuan tidaklah lepas juga dari peran perempuan itu sendiri. Peran perempuan ada dua hal yang mendasar, yaitu peran perempuan dalam ranah domestik dan peran perempuan dalam ranah publik.

Dua peran ini juga sering kita sebut dengan istilah peran ganda atau double burden. Ketika berbicara tentang peran perempuan dalam ranah domestik ini meliputi peran perempuan sebagai istri dan peran perempuan sebagai ibu.

Sedangkan Ketika berbicara tentang peran perempuan di ranah publik ini menyangkut peran perempuan di berbagai sektor publik dan erat kaitannya dengan perempuan yang bekerja.

Perempuan dalam ranah domestik memiliki peran sebagai istri dan ibu. Dua peran ini harus dapat berjalan degan seirama dan seimbang. Sebagai istri tidaklah lepas dari kewajibannya dalam melayani suami secara lahir dan bathin. Sebagai Ibu ini menjadi sangan kompleks perannya. Ibu adalah sekolah pertama untuk anaknya. Bahkan banyak yang mengatakan karakteristik seorang anak tidaklah lepas dari bagaimana pola ibu mengasuhnya.

Peran Perempuan dalam ranah publik erat kaitannya dengan bagaimana perempuan itu sendiri berperan dalam masyarakat. Peran publik ini sering kali dikaitkan dengan perempuan bekerja. Namun, kita juga belum bisa menutup mata karena masih banyak yang memaknai peran publik perempuan yang selalu dikaitkan dengan ruang publik itu sendiri.

Harus kita akui ruang publik saat ini belum semua ramah terhadap perempuan. Masih banyak kita temui beberapa hal yang belum respektif terhadap perempuan saat harus beradada di ranah publik.

Dua peran ini menjadi dilematika sendiri ketika beberapa hal tidak sejalan, ada beberapa permasalahan yang akan muncul terkait dengan dua peran ini. Terlebih lagi kalau kita bicara tentang keterbatasan dan kemandirian perempuan dalam peran ini. Banyak hal yang masih sangat mempengaruhi dan masih banyak yang menjadi kendala dan tantangannya.

Perempuan dengan segala keterbatasannya harus mampu membuat keterbatasan ini menjadi sebuah peluang bukan sebagai permasalahan ataupun kendala. Keterbatasan perempuan saat melakukan dua peran ini diantaranya berkaitan dengan keterbatasan waktu dan kesempatan. Keinginan perempuan dalam mengaktualisasikan diri dalam berbagai hal terkadang harus dapat diredam atau bahkan dinomordukan ketika berbentur dengan waktu untuk kepentingan keluarga.

Bahkan tidak jarang juga perempuan harus mau mengrbankan segala impian dan cita-citanya karena tuntutan pemenuhan kebutuhan keluarga.

Kemandirian perempuan sangat diperlukan dalam berbagai hal. Tidak jarang juga kita mendengar keberhasilan dua peran yang dilakukan oleh perempuan dikarenakan faktor utamanya yaitu tingkat kemandirian perempuan. Kemadirian disini tidak hanya bicara kaitannya dengan sikap dan karakter, akan tetapi berkaitan juga dengan kemandirian ekonomi.

Sehingga, tidak sedikit juga perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga karena memang secara kemandirian ekonomi lebih mampu dapat menopang kebutuhan ekonomi keluarga.
Garis antara Keterbatasan dan kemandirian perempuan memanglah sangat tipis.

Namun ini dapat menjadi sebuah kekuatan tersendiri Ketika dapat dikelola dengan baik. Keterbatasan perempuan dalam ranah domestik akan mampu dikelola dengan baik ketika komunikasi di dalam keluarga berjalan dengan baik.

Berbagi peran antara beban perempuan dengan pasangannya mampu menjadiknan ini lebih mudah dijalankan. Peran istri sekaligus ibu dapat berjalan optimal ketika semua anggota keluarga memberikan dukungannya dengan penuh.

Kemadirian seorang perempuan juga mampu menjadi salah satu faktor pendukung bagi peran perempuan di ranah publik. Kemadirian perempuan dalam berbagai hal akan mampu menjadikannya tidak dipandang sebelah mata lagi. Pemerintah pun sangat diperlukan dalam hal ini.

Implementasi kebijakan yang avirmatif terhadap perempuan tidak sebatas hanya sebagai penggugur kebijakan sangat diperlukan saat ini.

“Apa gunanya kaum ningrat yang dijunjung tinggi itu bagi rakyat, kalau mereka dipergunakan oleh Pemerintah untuk memerintah rakyat? Sampai sekarang tidak ada, atau sangat sedikit, yang menguntungkan bagi rakyat.

Lebih banyak merugikan – kalau kaum ningrat menyalahgunakan kekuasaannya” Salah satu kutipan dari 12 pokok pemikiran Kartini yang memberikan semangat kepada kita kaum perempuan bahwasannya dengan segala keterbatasan dan kemadirian perempuan semua bisa dijadikan peluang apabila diperbuat untuk kebaikan masyarakat.

Tidak perlu harus menjadi seorang pejabat atau bahkan dari kalangan bangsawan tetapi dari yang terkecil kita bisa lakukan untuk masyarakat khususnya kaum perempuan. (*)

Ketua KPU Kabupaten Bogor
Ummi Wahyuni