Harga BBM Tetap Tinggi Imbas Kebijakan Akal-akalan

0
144
Fadli Zon
Fadli Zon

BOGOR – RADAR BOGOR, Sebulan lalu, atau 18 Maret 2020, Presiden Joko Widodo berjanji akan menurunkan harga BBM sebagai imbas terus anjloknya harga minyak dunia ke level US$30 per barel. Namun, hingga hari ini, janji tersebut belum juga dipenuhi.

Tetap tingginya harga jual BBM di Indonesia pada saat harga minyak dunia sedang anjlok memang mengherankan. Apalagi, saat ini harga minyak dunia berada dalam level terendah sejak 18 tahun terakhir. Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei jatuh ke level US$24,88 per barel. Sementara, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April anjlok menjadi US$20,37 per barel. Minyak Brent merosot lebih dari 50 persen dalam 10 hari terakhir. Dengan penurunan-penurunan tersebut, mestinya harga BBM telah turun jauh dari posisi harga saat ini, yang terakhir kali ditetapkan pada 5 Januari 2020.

Sebagai perbandingan, saat ini Malaysia menjual Ron 95 (setara Pertamax Turbo) seharga RM1,25, atau setara dengan Rp4.500 per liter. Padahal, di Jakarta, harga Pertamax Turbo saat ini adalah Rp9.850. Ini kan gila-gilaan selisihnya. Siapa yang ambil keuntungan?

Sebagai catatan, asumsi harga minyak yang ditetapkan dalam APBN 2020 adalah US$63 per barel. Artinya, kalau harga minyak mentah hari ini kita anggap US$30 per barel saja, maka penurunannya sudah sekitar 52 persen dari asumsi harga yang dipatok APBN.

Memang, dalam komponen penentuan harga BBM juga ada faktor nilai tukar. Dalam APBN 2020, kurs dollar diasumsikan Rp14.400/USD. Sedangkan, per hari ini nilainya Rp15.400. Jadi, kurs melemah sekitar 6 persen dari asumsi. Dari selisih antara asumsi harga minyak mentah dengan kurs tersebut, harga BBM sebenarnya bisa turun 35 persen hingga 40 persen.

Kenapa kemarin Pertamina, misalnya, berani memberikan iming-iming ‘cashback’ hingga 50 persen kepada para pengemudi ojek online? Karena harga BBM mestinya memang sudah turun cukup besar hari ini! Kebijakan hanya pada ojek online justru diskriminatif terhadap konsumen lain termasuk mereka yang membutuhkan.

Di tengah ancaman krisis ekonomi besar, yang oleh IMF disebut sebagai “The Great Lockdown”, penurunan harga BBM sebenarnya bisa jadi stimulus ekonomi. Penurunan tersebut akan membantu daya beli masyarakat yang sejauh ini sudah tergerus. Penurunan itu juga akan membantu menekan ongkos logistik.

Sayangnya, bukannya menjadikan harga BBM sebagai instrumen meringankan beban ekonomi masyarakat, Pemerintah malah menjadikan momen anjloknya harga minyak ini sebagai jalan untuk mengeruk keuntungan.

Pada 28 Februari 2020 lalu, Menteri ESDM telah mengeluarkan Kepmen ESDM No. 62. K/12/MEM/2020 yang mengubah formula harga jual BBM. Kebijakan inilah yang telah membuat harga BBM kita tetap bertengger di level mahal, meskipun harga minyak mentah sebenarnya sedang anjlok. Ini kan kebijakan akal-akalan saja.

Sebagai catatan, kebijakan perubahan formula ini dilakukan kurang dari satu semester dari formula sebelumnya yang ditetapkan pada Oktober 2019 lalu. Kalau saya cermati, formula penentuan harga BBM ini memang kerap berubah-ubah. Tahun lalu saja, perubahannya terjadi sebanyak dua kali. Bisa dibayangkan, komoditas strategis seperti BBM ini regulasi harganya diatur melalui formula yang berubah terus-menerus, sesuai selera yang tak jelas arahnya.

Kok bisa Pemerintah mengakali rakyatnya begitu?

Saya kira, ke depan perlu dipikirkan agar formula penentuan harga BBM ditetapkan di dalam undang-undang, bukan oleh Keputusan Menteri. Agar soal-soal penting semacam ini tak diatur seenak perut penguasa.

Jika Presiden Joko Widodo memang pro rakyat, maka ia seharusnya segera menegur Menteri ESDM agar mengubah kembali formula harga BBM. Biarkan rakyat menikmati harga BBM murah di tengah kesulitan lain yang kini tengah menghimpit mereka.

Jangan sampai, kalau harga minyak dunia melambung tinggi, kerugiannya segera dibebankan kepada konsumen. Namun, kalau harga minyak anjlok, keuntungannya dinikmati korporasi dan Pemerintah sendirian. Maka seharusnya turunkan harga BBM sekarang juga!

—Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Ketua BKSAP DPR RI