Empat Amalan di Bulan Ramadan

0
63
Inayatullah Hasyim

Setiap kali Ramadhan tiba, hati kita bersuka-cita. Betapa tidak, Rasulallah SAW berpesan, yang artinya. “Telah datang kepada kalian Bulan Ramadhan bulan yang penuh berkah. Allah wajibkan kepada kalian puasa dibulan ini. (Di bulan ini), akan dibukakan pintu-pintu langit, dan di tutup pintu neraka, serta setan-setan dibelenggu. Demi Allah, di bulan ini terdapat satu malam yang lebih baik dari pada seribu bulan. Siapa yang terhalangi untuk mendulang banyak pahala di malam itu, berarti dia terhalangi mendapatkan kebaikan”

Selain berpuasa sebagai amalan utama kita di bulan Ramadhan, bulan ini juga dipenuhi gemilang keberkahan analan-amalan lainnya. Pada kesempatan singkat ini, saya akan membahas empat amalan utama agar kita mampu mengoptimalkan bulan Ramadhan sebaik-baiknya.

Pertama: Ramadhan adalah bulan Al Quran.

Allah SWT menegaskan, “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil) (QS al-Baqarah: 185).

Karena Al Quran adalah petunjuk Ilahi, maka ketika semua buku dimulai dengan permohonan maaf penulisnya, khawatir ada salah sumber atau salah ketik, al-Qur’an memulainya dengan pernyataan yang sangat tegas, “tak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa”.

Sayangnya, seringkali kita merasa sudah sangat menguasai al-Qur’an, padahal membacanya saja masih malas. Maka, Ramadhan ini kesempatan untuk mengulang bacaan kita.

Rasulallah SAW pernah meminta Ibnu Mas’ud untuk membcakan al-Qur’an baginya. Ibnu Mas’ud berkata, “bagaimana aku bacakan al-Qur’an sementara ia turun padamu?” Rasulallah SAW menjawab, “aku senang mendengarnya dari (orang) lain.” Demi mendengar bacaan Ibnu Mas’ud, Rasulallah SAW menitikan air mata dan meminta Ibn Mas’ud untuk menghentikan bacaannya.

Ayat yang membuat beliau SAW menangis adalah: “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad SAW) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)”. (QS An-nisa: 41)

Beliau SAW kemudian berkata, “siapa orang yang ingin membaca al-Qur’an seperti saat diturunkan, bacalah sesuai bacaan Ibnu Umi Abdi (Abdullah bin Mas’ud)”.

Karena itulah, Khalid bin Walid, salah seorang sahabat Nabi SAW, setiap kali mengambil mushaf al-Qur’an, ia menitikan air mata menangis seraya berkata, “Aku sibuk (hingga tak sempat membacamu) karena jihad”. Bayangkan, Khalid bin Walid menangis karena sibuk berjihad. Sementara kita?

Bagi kalangan awam, Ramadhan menjadi momen membaca al-Qur’an, memperbaiki tilawah dan meluruskan ilmu tajwid. Sementara bagi kalangan alim-cendikia, Ramadhan menjadi bulan “tadarus” al-Qur’an secara ilmu pengetahuan saat dimana kitab suci ini diserang oleh berbagai kalangan, terutama kaum kafir dan orientalis.

Studi tentang al-Qur’an memang selalu menarik. Contoh sederhana, tentang sejarah kodifikasi dan proses pembukuannya. Mushaf yang sampai ke tangan kita dikenal dengan istilah mushaf rasm Utsmani. Dinamakan demikian sebab kodifikasi final al-Qur’an baru dilakukan di zaman Utsman bin Affan. Dan disebut “rasm” bukan “kitabah” karena tulisan Arab sesungguhnya adalah proses melukis, bukan menulis.

Sahabat Nabi yang lain, semisal Ibn Mas’ud (ra) sebagaimana dikisahkan di atas dan Ubay bin Kaab (ra) memiliki mushaf sendiri dengan susunan yang berbeda dari mushaf Utsmani. Ibn Mas’ud, misalnya, tidak memasukkan surah “al-fatihah”, “An-Nas” dan “al-Falq” dalam daftar surah di mushafnya. Para Orientalis seperti Arthur Jeffrey (The Qur’an as a Scripture) dan Theodore Noldek, (The Origin of the Koran) menyimpulkan perbedaan mushaf Ibn Mas’ud dengan mushaf-mushaf sahabat Nabi lainnya, membuktikan ada “campur tangan kekuasaan” dalam menentukan surah-surah dalam al-Qur’an.

Sementara, ulama Islam seperti al-Qurtubi menyimpulkan, tidak dimasukannya ketiga surah pendek itu dalam mushaf Ibn Mas’ud sebab para sahabat Nabi sudah menghafalnya di luar kepala. Lagi pula, Ibn Mas’ud (ra) adalah sahabat Nabi yang mengatakan, “aku belajar al-Qur’an sebanyak 70 surah langsung dari Rasulallah SAW.” Jadi, al-Qur’an yang dikodifikasi Ibn Mas’ud lebih merupakan koleksi pribadi ketimbang untuk dibaca publik.

Kedua: Ramadhan adalah bulan Qiyamul Lail.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata, “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari Muslim).

Maksud dari kata “qiyam Ramadhan” adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh para ulama. Pada mulanya, shalat taraweh ditunaikan sendiri-sendiri. Rasulallah SAW khawatir, jika ditunaikan berjamaah maka hukumya akan wajib. Maka itu, beliau menunaikannya sendirian. Lalu, di zaman Umar bin Khattab, taraweh ditunaikan secara berjamaah mengingat orang-orang sudah mulai lengah untuk menunaikan taraweh karena sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ubay bin Ka’ab salah satu sahabat Rasulallah SAW menjadi imam shalat pertama pada taraweh berjamaah di era Umar bin Khattab itu.

Biasanya, Rasulallah SAW menutup shalat tarawehnya dengan shalat witir. Ketika Rasulallah SAW ditanya, “Doa (di waktu apa) yang paling didengar (Allah)?”. Beliau SAW menjawab, “pada penghujung malam”. Aisyah menceritakan, “Pada setiap malam, Rasulallah SAW menunaikan shalat witr, dan shalatnya berakhir sampai waktu sahur (remang-remang)”.

Shalat malam mengajarkan kita untuk khusyu dan tawadhu. Di era gadget dan media sosial, saat setiap kita mudah sekali up-date status, shalat malam seharusnya mampu mengajarkan kita untuk tidak show-up, pamer kepada banyak orang. Imam Ibnul Qayyim mengingatkan, dan sungguh telah berkata salah seorang yang shaleh, “bahwa engkau tertidur di malam hari (sehingga tidak tahajud) dan menyesal di pagi hari adalah lebih baik dari pada kau tahajud di malam hari, dan berbangga (dengan tahajud itu) di pagi hari”

Dikisahkan suatu malam, seorang pencuri masuk ke rumah Malik bin Dinar. Pencuri itu mencari-cari emas dan perak yang dimiliki sang Imam. Namun, dia tak mendapati apa-apa, kecuali sang imam yang tengah qiyamul lail. Selepas mengucap salam, Imam Malik memergoki pencuri yang tengah mengintip itu. Disapanya: “Engkau ingin mencuri harta, hanya memberimu kebahagiaan dunia. Sudahkah kau curi waktu malam untuk menyiapkan kebahagiaan akherat?”.

Pencuri itu tertegun. Ia kemudian duduk bersila, mendengarkan tausiyah sang Imam. Saat masuk waktu shubuh, Malik bin Dinar dan pencuri itu keluar rumah, mereka menuju masjid bersama-sama. Masyarakat geger. Mereka berkata, “Imam paling mulia berjalan ke masjid dan shalat berjamaah bersama pencuri paling utama”. Orang-orang bertanya: “apa rahasianya”. Imam Malik bin Dinar pun menjawab, “ketuklah pintu langit, sebab Dia-lah yang menggenggam hati manusia”.

Ketiga: Ramadhan adalah juga bulan sedekah.

Rasulullah SAW adalah seorang yang paling pemurah dan di bulan Ramadhan beliau lebih pemurah lagi. Kebaikan Rasulullah SAW di bulan Ramadhan melebihi angin yang berhembus karena begitu cepat dan banyaknya.

Dalam sebuah hadits, Rasulallah SAW mengatakan, “Sebaik-baik sedekah adalah sedekah di bulan Ramadhan.” (HR. Baihaqi). Dan bersedekah tidak harus menunggu kaya. Suatu hari, Rasulallah SAW berkata, “(Pahala sedekah) satu dirham mengalahkan seratus ribu dirham”. Seorang sahabat bertanya, “Bagaimana mungkin, ya Rasulallah?”. Rasulallah berkata, “(Bandingkan) seorang kaya raya yang memiliki banyak harta, dia mengambil seratus ribu dirham dari hartanya dan bersedekah dengannya. Lalu ada seorang miskin yang hanya punya dua dirham, dan dia bersedekah dengan satu dari dua dirham itu”.

Karena itulah, Ali bin Abi Thalib berkata, “Jangan malu bersedekah walaupun sedikit. Sebab, kebaikan itu (dinilai) pada pemberiannya walaupun sedikit”. Dikisahkan, seseorang bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, “Bagaimana untuk mengetahui seseorang itu “ahli dunia” atau “ahli akherat”?” Ali bin Abi Thalib menjawab, “Jika ada dua orang (tamu) datang, satu orang (tamu) membawa hadiah, dan satu lagi meminta sedekah. Bila hati tuan rumah lebih condong pada pembawa hadiah, maka dia termasuk ahli dunia. Apabila hati tuan rumah lebih condong pada orang yang meminta sedekah, maka dia termasuk ahli akherat.

Karena itu pula, Ibnul Qayyim mengatakan, seandainya seorang pemberi sedekah mengetahui dan melihat dengan sebenarnya bahwa sedekahnya telah sampai (ke tangan Allah) sebelum sampai ke tangan orang miskin, niscaya rasa bahagia yang dirasakan seorang pemberi sedekah lebih besar dari rasa bahagia penerima (sedekah) itu.

Keempat: ramadhan adalah bulan taubat.

Rasulallah SAW berkata, “Wahai umat manusia bertaubatlah kalian. Sesungguhnya aku bertaubat seratus kali dalam sehari-semalam”.

Bila pada hari-hari biasa kita dianjurkan bertaubat. Maka, taubat di bulan Ramadhan tentu lebih baik adanya.

Mengapa taubat? Sebab manusia makhluk yang lemah. Allah memberi jalan taubat sebagai wujud kasih sayang-Nya. Bahkan Allah sangat senang dan bahagia bila ada manusia yang bertaubat.

Rasulullah SAW menggambarkan kesenangan Allah SWT itu dengan bersabda, “Sungguh Allah akan lebih senang menerima taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat kepada-Nya daripada (kesenangan) seorang di antara kalian yang menunggang untanya di tengah padang luas yang sangat tandus, lalu unta itu terlepas membawa lari bekal makanan dan minumannya dan putuslah harapannya untuk memperoleh kembali. Kemudian, dia menghampiri sebatang pohon lalu berbaring di bawah keteduhannya karena telah putus asa mendapatkan unta tunggangannya tersebut. Ketika dalam keadaan demikian, tiba-tiba dia mendapati untanya telah berdiri di hadapannya….” (HR Muslim).

Seringkali kita merasa bahwa dosa yang kita lakukan hanya dosa-dosa kecil saja sehingga tak diperlukan bersegera dalam bertaubat. Padahal, kata Ibnul Qayyim, jangan pernah meremehkan dosa-dosa kecil. Lihatlah patok kayu di dermaga yang melilit tambang, ia bahkan dapat menarik kapal.

Maka, tak ada kata lain bagi kita kecuali segera bertaubat. Menarik untuk mengutip Ibnul Qayyim sekali lagi. Katanya: “Sekiranya seorang pelaku maksiat mengetahui bahwa kenikmatan bertaubat lebih dahsyat berlipat-lipat dari kelezatan maksiat, niscaya dia akan bersegera menuju taubat lebih cepat dari usahanya menggapai maksiat”

Semoga kita dapat mengisi hari-hari di bulan suci ini dengan penuh keberkahan.

Wallahua’lam bis shawwab. (*)

Inayatullah Hasyim
Penulis dan Dosen Universitas Djuanda Bogor.