Konsorsium Pembaruan Agraria Sebut RUU Cipta Kerja Rakus Tanah

0
41
Kalangan buruh akan bersinergi dengan mahasiswa untuk melakukan aksi besar-besaran atas sikap penolakan diresmikannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. (dok JawaPos.com)
ilustrasi
Kalangan buruh akan bersinergi dengan mahasiswa untuk melakukan aksi besar-besaran atas sikap penolakan diresmikannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. (dok JawaPos.com)
Kalangan buruh akan bersinergi dengan mahasiswa  melakukan aksi besar-besaran atas sikap penolakan diresmikannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja.

JAKARTA-RADAR BOGOR, Penolakan terhadap omnibus law RUU Cipta Kerja (Ciptaker) masih terus bermunculan. Selain kalangan buruh, RUU itu juga menuai penolakan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Lembaga yang berfokus pada persoalan pertanahan tersebut meminta DPR dan pemerintah menghentikan seluruh pembahasan di semua klaster.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menyatakan, RUU Ciptaker tidak hanya bermasalah pada klaster ketenagakerjaan. Tapi juga pada reforma agraria. Berdasar hasil kajian pada semua pasal, kata dia, RUU inisiatif pemerintah itu dinilai rakus tanah. ”RUU ini menempatkan tanah dan hutan sebagai komoditas komersial ke investor,” cetusnya melalui rilis resmi kepada media kemarin (26/4).

Menurut Dewi, selain merugikan buruh, RUU Ciptaker akan mengancam para petani dan masyarakat adat. Sebab, regulasi tersebut bisa mengganggu ekonomi kerakyatan yang selama ini menempatkan tanah sebagai sarana produksi bagi rakyat.

Lebih jauh, Dewi membeberkan dua persoalan dalam RUU Ciptaker terkait agraria. Pertama, RUU tersebut hendak memangkas proses pengadaan tanah untuk kawasan non pertanian dengan mengubah UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Omnibus law itu, imbuh dia, bermaksud mempersingkat proses perolehan izin untuk mengonversi tanah pertanian ke fungsi-fungsi non pertanian yang diajukan investor.

Dampaknya, para petani dan peladang tradisional akan semakin terpinggirkan. Bahkan menjadi petani tanpa punya tanah. ”Ujung-ujungnya, mereka terpaksa menjadi buruh atau menjadi TKI di luar negeri,” cetusnya.

Diungkapkan, sensus pertanian selama 2003 hingga 2013 mencatat, ada 5,1 juta rumah tangga petani yang telah terlempar dari sektor pertanian. Penyebabnya, lahan pertanian menyusut, berubah menjadi tempat industri yang dikuasai investor.

Kedua, RUU Ciptaker berbahaya karena ingin mengubah UU Pokok Agraria. RUU tersebut akan memberikan karpet merah kepada perusahaan-perusahaan raksasa di sektor perkebunan untuk bisa mengantongi hak atas tanah berupa hak guna usaha (HGU) selama 90 tahun.

Padahal, dalam UU Pokok Agraria, badan usaha membatasi HGU paling lama 25 tahun. ”Pemerintah mengabaikan keputusan MK yang telah membatalkan HGU di atas 90 tahun,” tandas Dewi. (jpg)