Beda Derajat

0
50

Sssstttt…! Saya ke Probolinggo kemarin. Tetap dengan protokol Covid-19.

Apalagi keberangkatan saya itu untuk melihat pabrik APD, masker, dan baju operasi dokter.

Tapi, bagi saya, yang lebih penting adalah siapa di balik pabrik itu: Haji Mohammad Supriyono. Tumben ada ”haji dan mohammad” punya pabrik tekstil besar. Nama pabrik itu PT. Putrateja Sempurna.

Dan ia orang MA –Magetan Asli. Yang kawin dengan wanita MA –Madura Asli.

Meski sama-sama Magetan –dan sama-sama pengusaha– saya tidak pernah mengenalnya. Mungkin karena ia kawin dengan MA sedang saya kawin dengan BA –Banjar Asli.

Kok saya ke Probolinggo? Awalnya gegara saya lewat di depan TV. Terdengar suara: ada pabrik APD di Probolinggo. Saya pun menoleh ke layar TV. Sambil tetap berdiri. Lho ada Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa di situ. Lagi meninjau pabrik itu. Saya pun cari tahu: siapa yang punya.

Ketemulah nomor ponsel ”Haji Mohammad” itu.

Ternyata ia kelahiran Sarangan –pusat rekreasi di lereng tenggara Gunung Lawu. Rumahnya dekat Danau Sarangan –saya masih ingat lagu keroncong tentang teduhnya danau ini. Dulu.

Derajat ”Haji Mohammad” ini jauh lebih tinggi dari saya –ia di gunung, saya di ngarainya. Mungkin selisih 31 derajat.

Akhirnya kami bertemu.

Ya baru di pabriknya kemarin itu pertama kali saya bertemu. Saya tidak memanggilnya Pak Haji. Atau Pak Mohammad. Saya memanggilnya Mas Pri –H.M. Supriyono.

Saya terkagung-kagum melihat ada orang Magetan punya pabrik tekstil sebesar ini. Dan otaknya begitu encernya: begitu ada wabah langsung banting setir.

Produksi garmennya langsung dihentikan –sementara. Pindah ikut mengatasi kelangkaan APD, masker, dan baju operasi.

Padahal Mas Pri biasa memproduksi baju dan celana merk luar negeri –yang sebagian dijual kembali ke Indonesia. Uniqlo pun dibuat di sini.

Dan sekarang total ke APD dan masker.

Order APD pertamanya sebanyak 1 juta. Harus selesai dalam satu bulan. Target itu berhasil ia penuhi. Maka datanglah juta kedua, juta ketiga….

Satu pabriknya khusus membuat APD. Satu pabrik lagi membuat masker. Pabrik yang lain lagi membuat jubah dokter warna hijau. Tiga pabrik tersebut berlokasi di pinggir barat Kota Probolinggo –saling terpisah di jarak sekitar 5 Km.

Sekarang sudah ada jalan tol dari Surabaya ke sana. Tapi untuk menghindari pemeriksaan PSBB, saya lewat jalur aman. Akibatnya perlu waktu 2 jam. Baru pulangnya saya lewat tol –hanya satu jam.

Meski saya kelahiran Magetan tapi belum pernah ke Sarangan –sampai umur 25 tahun. Tidak ada kata rekreasi di kehidupan keluarga kami saat itu. Tapi tiap hari sebenarnya saya sudah rekreasi –berenang di sungai yang diawali dengan terjun ke air dari atas jembatan.

Tidak ada sungai yang bisa dibuat renang di lereng Gunung Lawu. Rekreasi Mas Pri ternyata tidak kalah asyiknya. Itu karena tidak ada SMP di desa Sarangan. SMP terdekat adalah di Plaosan –ibu kota kecamatan. Mas Pri harus jalan kaki ke sekolah.

Berangkatnya sih sepele: tinggal menuruni lereng gunung –meski curam. Tapi, pulang sekolah, di saat perut sudah lapar, harus mendaki. Dan mendaki.

”Sepatu dan baju saya lepas. Biar tidak kotor dan tidak rusak,” ujar Mas Pri mengenang masa SMP itu.

Saya belakangan juga sering mengenang Plaosan. Ke tebing gunung di Plaosan itulah saya sengaja menabrakkan mobil listrik –agar tidak menabrak orang banyak.

Tamat SMP Plaosan Mas Pri harus ngenger ikut pamannya yang di Kediri. Agar bisa melanjutkan sekolah. Ia pun masuk STM di Kediri –jurusan mesin.

Sejak itu Mas Pri menyukai pelajaran bahasa Inggris. Ia belajar keras. Tamat STM ia sudah percaya diri saat melihat ada lowongan pekerjaan di koran. Akan ada pabrik tekstil baru di Probolinggo. Milik investor asing dari Hongkong.

Ia pun melamar dan diterima. Sambil menunggu pabrik selesai dibangun Mas Pri disekolahkan ke Hongkong. Tiga bulan. Ke Filipina, 3 bulan. Ke Australia, 3 bulan.

Siang hari Mas Pri bekerja di pabrik itu. Malamnya membuka kursus bahasa Inggris. Salah satu muridnya adalah putri seorang polisi –itulah istrinya sampai sekarang.

Selama 20 tahun bekerja di perusahaan Hongkong itu Mas Pri sering dikirim ke luar negeri. Yakni ke negara-negara yang mengimpor pakaian dari Probolinggo itu. Produsen harus bisa memenuhi apa saja persyaratan dari pembeli. Yang cenderung sangat cerewet. Mendetail. Rumit.

Persyaratan itu kian tahun kian bertambah. Harus tetap dipenuhi. Agar perusahaan tetap hidup.

Yang tergolong baru adalah persyaratan harus ”anti teroris”. Proses produksi pakaian pesanan itu harus direkam oleh kamera. Hasilnya harus dikirim ke pengimpor. Terutama proses pengepakannya. Yang harus bisa menghindari peluang kiriman baju itu dicampur mesiu.

Misalnya setelah semua pakaian dimasukkan kemasan, box itu harus ditempatkan di gudang khusus. Yang harus direkam kamera. Agar tidak ada orang yang bisa masuk gudang itu –untuk menitipkan barang berbahaya.

Besarnya pintu gudang pun sudah ditentukan. Harus sama besar dengan ukuran pintu belakang kontainer. Dengan demikian ketika pantat kontainer itu mundur ke pintu posisinya pas –tidak ada celah sedikit pun yang bisa dimasuki orang tak dikenal.

Demikian juga saat memasukkan boks-boks itu ke kontainer. Harus sampai benar-benar penuh. Ukuran boks-nya pun sudah ditentukan. Agar tidak ada sela sedikit pun. Semua harus direkam. Hasil remakan harus dikirim ke Amerika.

Semua itu membuat Mas Pri sangat profesional. Keharusan comply dengan tuntutan pembeli membuat orang punya sikap yang correct.

Mas Pri sampai merasa disayang oleh pemilik pabrik Hongkong itu. Yang hanya ke Probolinggo setahun sekali. Tapi hubungan itu berubah ketika perusahaan go public. Apalagi setelah bos besar meninggal dunia. Dan kepemilikan pabrik berpindah.

Mas Pri pun merasa komitmen profesionalnya yang tinggi ikut berakhir. Maka ia pun mulai merintis usaha sendiri. Semula hanya di rumah mertuanya: 10 mesin jahit. Lama-lama menjadi 100 mesin. Sang MA-lah yang menjalankan industri rumahan itu.

Produknya adalah mukena dan baju koko. Tidak boleh produk yang sama dengan pabrik milik Hongkong itu.

Setelah rumah mertua tidak cukup lagi Mas Pri mulai berpikir untuk berhenti sebagai profesional. Toh sudah 20 tahun. Ia berniat menjadi wirausaha mandiri.

Berdirilah pabrik pertama. Sekitar 5 Km dari pabrik milik Hongkong itu. Lalu pabrik kedua dan ketiga.

Ia merasa mendapat bekal yang cukup selama ikut perusahaan Hongkong itu. Mas Pri-lah yang membidani produksi celana jeans Levi’s seri 501 yang legendaris itu. Kalau di kancing celana kain itu ada angka 133, itulah bikinan Mas Pri dan tim-nya. Angka 133 sebagai tanda bahwa Levi’s itu bikinan Probolinggo. Bikinan negara lain menggunakan nomor yang berbeda.

Pabrik tekstil milik Hongkong itu masih tetap maju. Sekarang ini. Lahannya sudah menjadi 7 hektare. Karyawannya sudah 7.000 orang.

Pabrik Mas Pri juga terus berkembang. Kini sudah memiliki hampir 2.000 mesin jahit.

Dua orang anaknya juga sudah bisa membantu bapak mereka: yang sulung di bidang IT, yang kedua memegang pabrik.

Dua anaknya itu lulusan Malaysia semua. ”Waktu kuliah mereka cari uang sendiri. Dengan cara menjadi guru mengaji Alquran di sana,” ujar Mas Pri.

Saya lihat tiga pabrik Mas Pri lagi berjalan di kapasitas penuh. 100 persen untuk urusan wabah Covid-19.

Saya pun diajak sampai ke belakang. ”Tuh, semua dihentikan dulu,” ujarnya sambil menunjuk tumpukan baju dan celana merk internasional.

Di pabrik ini tidak ada lonceng tanda istirihat. ”Loncengnya azan zuhur dan asar,” ujar Mas Pri.

Tepat sekali. Saat saya di salah satu pabriknya, azan zuhur berkumandang. Semua karyawan meninggalkan tempat kerja. Menuju gedung aula yang merangkap musala: salat berjamaah.

Saya sendiri akhirnya agak lama di pabrik itu. Gegara Aa Gym ternyata harus berdialog dengan saya lewat Zoom. Saat itu juga. Maka jadilah dialog itu dengan latar belakang produksi APD. Yang suara gemerisiknya kadang tercampur dengan suara Aa Gym. Saya pun merasa kurang sopan bersuara setengah teriak di depan ulama besar itu.

Ramainya pabrik tekstil di kala Covid ini membuat saya ingat Dunia Tekstil. Pabrik besar yang menghebohkan itu. Yang bermasalah itu. Dunia Tekstil tidak seperti sabar menunggu rejeki baru.

Rejeki selalu datang kapan saja. Kita saja yang kadang tidak lagi siap menerimanya. (Dahlan Iskan)