PKS Menolak PERPPU yang Sarat Kontroversi!

0
37

BOGOR-RADAR BOGOR, Dalam rapat pengambilan keputusan tingkat pertama di Badan Anggaran-DPR RI, 4 Mei 2020, PKS menjadi satu-satunya Fraksi yang menolak RUU (Perppu) no 1/2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional.

Penolakan PKS didasarkan kepada dua alasan utama yang menjadi spirit PKS, yaitu: spirit agar Pemerintah fokus, tepat sasaran dan cepat tindakan mengatasi dampak musibah Covid-19, dan sipirit menegakkan pemerintahan demokratis, bersih dan terkawal yang berdiri dalam koridor hukum yang berkeadilan. Sejak awal PKS sudah mengkritis PERPPU sarat kontroversi ini.

Alih-alih untuk secepatnya menangani musibah Civid-19 yang membutuhkan dukungan anggaran dan arah kebijakan yang fokus, Perppu ini malah lebih banyak memberikan fasilitas ekonomi dan dimuati semangat omnibus law yang berpotensi ‘membatalkan’ puluhan UU yang sudah ada, dan memberikan berbagai ‘fasilitas’ dan kemudahan bagi para pemilik modal/pengusaha.

Pasal 28 PERPPU No. 1 Tahun 2020 menyatakan bahwa sejumlah pasal peraturan perundangan yang terkait dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian pasti akan berpengaruh pada sistem otorisasi dan tata kelola APBN, keuangan negara dan moneter.

Peraturan perundang-undangan yang terkait tersebut antara lain: UU Keuangan Negara, UU APBN 2020, UU MD3, UU Perpajakan, UU Bank Indonesia, UU OJK, UU LPS, UU Pemda, UU Desa, UU Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, UU Kesehatan, UU Perbendaharaan Negara dan UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.

Fraksi PKS berpendapat bahwa hal tersebut membuat kewenangan Pemerintah menjadi sangat besar dan tidak terbatas. Sehingga berpotensi menimbulkan penyimpangan kekuasaan (abuse of power) dan dapat merusak sistem tata kelola APBN.

Lebih parah lagi, PKS memandang bahwa Perppu berpotensi melanggar UUD 1945. Hal ini terkait dengan kekuasaan Pemerintah dalam penetapan APBN yang mereduksi kewenangan DPR, kekebalan hukum, dan terkait kerugian keuangan Negara.

Fraksi PKS berpendapat Perppu No 1 Tahun 2020 telah memusatkan kekuasaan pengelolaan APBN, keuangan negara dan sumber-sumber moneter kepada Pemerintah dengan mereduksi fungsi kontrol dan tata kelola yang baik.

Perppu telah memangkas kewenangan DPR dan memaksa bank sentral untuk membiayai defisit fiskal. Pemusatan kekuasaan ini mencederai prinsip tata kelola pemerintahan modern yang demokratis, akuntabel dan memiliki cek and balances.

Hal ini terlihat jelas dari sejumlah pasal UU yang dinyatakan tidak berlaku dalam UU MD3 dan UU Bank Indonesia. Kewenangan DPR dipangkas dengan tidak berlakunya beberapa ketentuan dalam UU MD3.

Pemangkasan ini berdampak pada kewenangan DPR dalam persetujuan atas rincian APBN dan juga pembahasan APBN Perubahan, sehingga menjadi kewenangan penuh Pemerintah dan akan disusun dalam Perpres tanpa kewajiban membahas dengan DPR.

Terkait dengan kekebalan hukum, PKS beranggapan bahwa para pejabat yang memiliki otoritas keuangan Negara harus bertindak dalam koridor hukum yang jelas, agar tidak ada celah sedikitpun untuk bertindak ‘menyalah-gunakan kewenangan.

PERPPU Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, Pasal 27 ayat 3 yang menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan PERPPU ini.(unt/*)