RADAR BOGOR-Kematian George Floyd harus dibayar mahal. Aksi massa di penjuru AS merenggut nyawa seorang demonstran berusia 19 tahun di Detroit dan petugas kontrak Layanan Perlindungan Federal di Oakland. Ratusan orang di berbagai kota juga ditangkap karena berbuat anarkistis.
Kematian George Floyd Guncang Amerika, Mal Dijarah, Jam Malam di Mana-Mana
Dilansir CNN, pemuda asal Detroit itu tewas saat ikut aksi massa pada Jumat malam (29/5) waktu setempat.
Mobil Dodge Durango abu-abu tiba-tiba berhenti dan orang di dalamnya menembak ke arah demonstran. Pelaku belum tertangkap.
Muncul dugaan, ada pihak yang memperkeruh situasi karena penembakan yang terjadi di Oakland juga serupa. Sebuah mobil mendekat ke gedung Federal Ronald V. Dellums, Oakland. Orang di dalamnya menembaki petugas. Dua terluka, salah satunya akhirnya tewas.
Massa memang menjadi beringas. Polisi menjadi sasaran. Penjarahan juga terjadi di mana-mana. Kepala Polisi Detroit James Craig mengaku menahan seseorang yang berusaha menabrak petugas kepolisian.
”Saya tidak akan tinggal diam, membiarkan para kriminal datang ke sini dan menyerang petugas serta membuat masyarakat tidak aman,” tegas Craig.
Gara-gara aksi massa selama beberapa hari terakhir, belasan kota menerapkan jam malam. Namun, banyak yang melanggar jam malam tersebut.
Mereka masih tak terima atas kematian George Floyd pada Senin (25/5/2020). Pria kulit hitam itu mabuk dan membayar di toserba dengan uang palsu. Polisi mengamankannya. Tangannya diborgol dan posisi tubuhnya tengkurap ke tanah.
Saat itulah petugas kepolisian Derek Chauvin menekan leher Floyd dengan lututnya. Dia bergeming meski Floyd berkata tak bisa bernapas. Floyd akhirnya dinyatakan meninggal di Hennepin County Medical Center.
Chauvin dan tiga petugas lainnya yang bertugas saat itu sudah dipecat. Namun, mereka tidak diproses hukum meski telah menghilangkan nyawa orang.
Itulah yang membuat warga AS murka. Salah satu sasaran aksi adalah rumah Chauvin. Massa mencoret-coret tembok rumah Chauvin.
Berdasar data yang dikumpulkan The Washington Post, tahun lalu lebih dari seribu orang tewas lantaran ditembak polisi di AS. Sebagian besar adalah orang kulit hitam. Sejatinya keinginan massa sudah dipenuhi pada Jumat.
Chauvin, mantan polisi yang menekan leher Floyd, dijerat dengan dakwaan pembunuhan tingkat tiga, yaitu tindakan tidak sengaja yang mengakibatkan kematian. Dia juga didakwa melakukan kelalaian yang mengakibatkan orang kehilangan nyawa.
Sayang, dakwaan itu terlambat sehingga tak mampu lagi menenangkan massa. Amarah penduduk telanjur memuncak. Kepolisian Minneapolis bahkan sampai mengerahkan beberapa helikopter untuk mengendalikan situasi.
Suara ledakan dan tembakan gas air mata terjadi di mana-mana. Sekitar 700 personel Garda Nasional juga diterjunkan Jumat. Kemarin ada tambahan seribu orang lagi.
”Ini menakutkan, tapi penting. Kadang hal tertentu harus jadi buruk dulu sebelum membaik,” ujar salah seorang pengunjuk rasa.
Kasus penembakan Floyd merembet. Massa pun meminta polisi yang menembak Breonna Taylor Maret lalu juga diseret ke meja hijau. Sama dengan pembunuh Floyd.
Kala itu polisi melakukan pencarian dan penggeledahan kasus narkoba. Mereka masuk ke apartemen Taylor tanpa mengetuk pintu. Kaget, Kenneth Walker menembak salah seorang petugas, Sersan Jonathan Mattingly.
Walker adalah pacar Taylor. Mattingly selamat. Namun, rekannya langsung menghujani Taylor dengan delapan timah panas. Perempuan Afrika Amerika itu tewas. Kasusnya tersendat karena tidak ada bukti video layaknya insiden yang menimpa Floyd.
Massa di Louisville, Kentucky, marah Kamis (28/5/2020) setelah rekaman Walker menelepon 911 di hari kejadian beredar. Walker sempat ditahan sebelum akhirnya dibebaskan.
Aksi massa itu berujung ricuh dan tujuh orang tertembak. Mereka semua selamat. Versi polisi, bukan mereka yang menembak para demonstran tersebut.
Tak semuanya setuju tentu saja. Beberapa massa ingin benar-benar melakukan aksi damai. Tindakan anarkistis hanya membuat polisi memiliki alasan untuk menembak para pengunjuk rasa.
Penduduk sekitar lokasi aksi massa juga ketir-ketir. Mereka takut rumah maupun tempat usahanya ikut terbakar dan dijarah massa.
Wali Kota Minneapolis Jacob Frey menegaskan bahwa aksi penduduk membakar kotanya sendiri bukanlah hal yang terhormat. Tindakan tersebut harus dihentikan secepatnya.
Hal senada dilontarkan Gubernur Minnesota Tim Walz. Terlebih, beberapa bangunan yang terbakar adalah milik warga kulit hitam.
”Ini bukan lagi tentang kematian George Floyd. Ini bukan tentang ketidakadilan yang nyata terjadi. Ini adalah kerusuhan,” tegasnya.
Presiden AS Donald Trump sempat menghubungi keluarga Floyd. Mereka menyambut baik hukuman yang dijatuhkan kepada Chauvin.
Namun, mereka juga tak puas. Keluarga Floyd ingin Chauvin dijerat dengan pembunuhan tingkat satu alias pembunuhan terencana. ”Kami juga ingin agar (tiga) petugas lainnya ditahan.” Demikian bunyi pernyataan pihak keluarga.
Di sisi lain, Trump agaknya tidak terlalu bersimpati terhadap para demonstran. Dalam cuitannya, dia menyatakan bahwa massa yang ada di depan Gedung Putih tidak ada hubungannya dengan Floyd.
Mereka adalah orang yang dikelola secara profesional agar menjadi pengunjuk rasa. ”Mereka di sini untuk menyebabkan masalah,” cuitnya. Seperti biasa, Trump tidak memaparkan bukti atas tudingannya.
Suami Melania itu juga memberikan pernyataan kontroversial Jumat. Dia mengatakan bahwa AS akan mundur dari Badan Kesehatan Dunia (WHO).
”Karena mereka telah gagal melakukan reformasi yang sangat dibutuhkan, hari ini kami akan memutus hubungan dengan WHO,” tegas Trump dalam sesi konferensi pers.
Trump menyatakan akan mengalihkan anggaran yang biasanya disalurkan ke WHO untuk mereka yang membutuhkan di berbagai penjuru dunia lainnya. Termasuk, antara lain, untuk kebutuhan kesehatan masyarakat global yang mendesak.
Namun, AS tak bisa serta-merta melepas keanggotaannya. Mereka adalah anggota WHO lewat resolusi bersama yang dibentuk pada 1948. Untuk keluar, Trump butuh persetujuan dari Kongres.
Hubungan Trump dan WHO tegang setelah ledakan kasus Covid-19 di AS tidak bisa terkendali. AS menjadi negara dengan penularan tertinggi dan angka kematian terbanyak di dunia.
Hingga tadi malam total ada 1.797.025 kasus dan 104.632 orang meninggal. Trump menyalahkan WHO karena merasa mereka membela Tiongkok dan menutupi data yang sebenarnya.
Banyak pihak lain yang sependapat dengan Trump. Yakni, menganggap WHO terlalu pro dengan Tiongkok. Contohnya, antara lain, pada Januari lalu WHO menyatakan bahwa tidak ada bukti virus SARS-CoV-2 bisa menular dari manusia ke manusia. Itu ditengarai membuat banyak negara abai dan tidak bersiap. (jpg)