Tiga orang hebat ini punya ide yang mirip-mirip. Hafidz Ary Nurhadi di Bandung, dr Andani Eka Putra di Padang dan Fima Inabuy di Kupang, NTT.
Lahirnya ide pun hampir bersamaan: tiga bulan lalu. Ide pemikiran mereka sama: pool test Covid-19.
Tiga orang itu memang punya keinginan yang sama: agar sebanyak mungkin orang Indonesia menjalani tes Covid-19.
Tentu mereka mencari cara agar biaya tes itu murah. Caranya: lewat peningkatan kapasitas lab –tanpa menambah fasilitas.
Hafidz, alumni teknik mesin ITB itu, terus berjuang meyakinkan siapa saja. Terutama para pengambil keputusan.
Begitu terjal jalan yang ditempuhnya. Belum juga mendapat lampu hijau.
Hafidz yang hafal Alquran itu tidak putus asa. Hanya saja memang tidak mudah. Sudah banyak instansi yang ia yakinkan. Belum satu pun yang menganggukkan kepala.
Ups… Semua sudah menganggukkan kepala. Hanya belum ada kaki yang bisa melangkah.
Untung sekolah SD yang Hafidz dirikan sudah jalan. Tidak sampai terganggu oleh perjuangan ide barunya itu. Itulah SD yang mata pelajarannya hanya tiga: Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris .(DI’s Way: Pool-test Hafidz).
Hafidz sebenarnya sudah memperbaharui ide pool test itu. “Tiap satu rumah cukup satu orang yang dites,” ujar Hafidz tadi malam.
“Agar lebih hemat biaya. Dengan efektivitas yang sama,” ujarnya.
Masih juga sulit.
Demikian juga di NTT. Fima Inabuy tidak kalah gigihnya. Perjuangan Fima lebih berat. Apalagi ide itu akan dia wujudkan di daerah yang sangat jauh: Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kalau dia bukan wanita asli Kupang mungkin sudah angkat tangan. Tapi Fima begitu cinta pada Kupang. Dia begitu ingin mengabdi untuk daerahnyi.
Ayah Fima seorang pendeta di sana. Ibunyi pensiunan guru. Keluarga ini memiliki yayasan yang bergerak di bidang pendidikan di Kupang: Sekolah Aplikasi Bangsa. Mulai TK, SD, SMP sampai SMA.
Fima sendiri hanya sampai kelas 2 SMP di Kupang. Dia pindah ke Jakarta –agar kelak lebih mudah masuk ITB. Setamat SMA Fima benar-benar masuk ITB. Jurusan biologi mulekuler. Dari ITB Fima ke Amerika Serikat.
Di AS Fima mendalami tanaman obat di Washington State University di Pullman. Yakni kota sangat kecil di perbatasan antara negara bagian Washington dan Idaho. Yang alamnya begitu indah. Yang saya dua kali berkendara melewati kawasan ini.
Enam tahun Fima di Pullman. Tapi tetap saja cinta mati ke NTT. Dari Pullman, Fima pulang ke NTT –setelah mampir 9 bulan di ITB untuk mengambil post doctoral.
Di Kupang Fima bergabung ke Forum Academia NTT –disingkat FAN. Resminya FAN inilah yang memperjuangkan perlunya mass pool test Covid-19 di NTT.
Tapi ya itu tadi. Fima harus lebih sabar. Sampai sekarang idenyi itu masih di tengah jalan. Energinyi terlalu banyak untuk berhubungan dengan birokrasi.
Tapi Fima juga tidak putus asa. Cintanyi pada NTT tidak akan ambyar oleh kesulitan apa pun.
FAN sudah mendapatkan 29 anak muda yang akan menjalankan pool test itu nanti. Merekalah yang lolos dari lebih 70 orang yang melamar.
Senin hari ini mereka itu mulai melakukan pelatihan. Artinya, ada hope untuk pada saatnya nanti terlaksana.
Fima juga sudah mendapatkan peralatan PCR. Bahkan dua buah. Yakni meminjam milik Universitas Nusa Cendana dan milik RSUD Prof. Dr. WZ Johannes. Dua alat itu selama ini tidak banyak dipakai.
Hanya saja belum ada ruang untuk lab PCR itu. Pun sampai hari ini. Padahal ia perlu pula ruang yang bertekanan negatif.
Tiga minggu lalu Fima dan tim FAN menghadap Gubernur NTT. Mereka menghadap lagi Rabu lalu. Gubernur, kata Fima, menyanggupi untuk membangun ruang lab itu.
Tentu Fima masih harus bersabar sampai ruang itu tersedia.
Walhasil, dari tiga orang pemilik ide itu baru dr Andani yang sudah benar-benar melaksanakannya. Di lab milik Universitas Andalas
Padang. Yang dulunya hanya mampu mengetes 200 orang/hari kini bisa 1.570 orang/hari (DI’s Way: Nangis Tes).
Bahkan dari pengalaman riel di lapangan itu dr Andani punya kesimpulan penting: pool test paling efisien dan efektif adalah 5 sampel menjadi 1 tabung.
Andani tidak berani melakukan 10-1. Apalagi 50-1. Ia sudah mencoba semua itu. Andani menemukan rumus sendiri: 5-1 itu.
Penemuan itu sudah ia tulis dan segera terbit di jurnal internasional.
Memang sebelum itu sudah ada teori 50-1. Tapi, dari hasil praktek Andani, yang dijamin valid adalah 5-1. “10-1 saja sudah terjadi pengenceran,” ujar dr Andani.
Tentu masih terbuka lahirnya rumus lain. Dari ahli lain. Siapa tahu.
Kalau Hafidz dan Fima bisa menyusul Andani tentu ilmu pengetahuan Indonesia semakin kaya.
Kita pun akan bisa mengejar –kalau kita masih bisa agak cepat.(Dahlan Iskan)