Vinus Foundation-KPPI Dorong Pemenuhan Hak Politik Perempuan

0
30
pelanggaran pilkades
Sekretaris Tim Pemantau Pilkades Serentak Kabupaten Bogor, Yusfitriadi, saat ekspose hasil temuan Pilkades Serentak 2019, di Cibinong, Selasa (5/11/2019).
SERIUS : diskusi online dengan tema Kebijakan Afirmasi Kuota Perempuan dalam RUU Pemilu melalui Zoom Meeting, Senin (22/6) .

BOGOR – RADAR BOGOR, Yayasan Visi Nusantara Maju bekerjasama dengan Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Kabupaten Bogor, menggelar diskusi online dengan tema Kebijakan Afirmasi Kuota Perempuan dalam RUU Pemilu melalui Zoom Meeting, Senin Sore (22/6).

Diskusi ini, digelar dengan tujuan untuk membahas penguatan hak politik perempuan di Indonesia. Sejumlah tokoh politik dari penyelenggara baik KPU maupun Bawaslu hingga dari Partai Politik pun hadir dalam diskusi ini.

Ketua Yayasan Visi Nusantara Maju, Yusfitriadi mengatakan, semua pihak terkait perlu dorong Afirmasi Action melalui Fast Policy atau kebijakan cepat pada penguatan kapasitas perempuan.

“Afirmasi Action di perempuan itu ada banyak referensi. Seperti Conference Political Right and Women yang sejak lama sudah digaungkan oleh PBB. Juga seperti di Beijing sudah sejak lama mengangkat hak perempuan terutama dalam hak politiknya,” ungkapnya.

Ia menuturkan, saat ini banyak undang-undang yang berkaitan dengan penguatan hak politik perempuan. Diantaranya, politik partisan atau tidak partisan. Namun, pada praktiknya belum begitu kuat dalam mendorong perempuan untuk mengisi ruang politik yang ada.

Di level Asia, Yus menyebutkan, Indonesia masuk urutan ke enam dalam keterlibatan perempuan pada praktik politik. “Walaupun setiap tahunnya meningkat untuk persentase perempuan. Tapi itu belum sampai 30 persen. Paling besar itu 23 persen,” kata Pengamat Politik Nasional tersebut.

Yus menjelaskan, standar hak politik perempuan terakomodir dalam konteks politik. Banyak faktor yang mempengaruhi, seperti banyak kaum perempuan yang menginginkan laki-laki untuk mengisi ruang politik yang ada. Juga, ada beberapa faktor ketika kita melihat hasil dari survei itu. Faktor sosial, kultur, dan budaya.

“Saya pikir, bukan rahasia umum bahwa kebanyakan kultur kita, perempuan itu diposisikan sebagai second person. Dan ini banyak dibangun opini itu, sehingga tidak pernah kaum perempuan untuk menjadi pengisi ruang politik yang strategis terutama di wilayah pedalaman-pedalaman. Pada akhirnya, perempuan diberikan wilayah domestik saja,” kata Yusfitriadi.

Ia menegaskan, kultur pratiarki dapat mempengaruhi hak politik perempuan. Ini tidak hanya dimiliki oleh konstruksi politik. Tapi juga di lingkup ya ng kecil bisa terjadi. Seperti adanya istilah kepala keluarga yang mana kultur ini terbawa kepada dunia politik.

Lebih lanjut ia mengatakan, sampai kini tidak banyak partai politik yang mendorong secara kuat agar perempuan masuk struktur strategis partai, atau pencalegan. Padahal afirmasi action sudah dilakukan di berbagai level. Maka, kemandirian politik perempuanlah yang dapat menguatkan dorongan untuk mengisi ruang strategis di lingkup politik.

“Terakhir, afirmasi action harus bisa diterjemahkan ke dalam bahasa yang disederhanakan agar mampu dipahami oleh masyarakat di tingkat bawah. Selain itu juga harus sering digaungkan dalam forum-forum warga di tingkat bawah agar kesadaran perempuan terhadap hak politiknya terbangun secara mandiri,” tuturnya.

Ketua Bawaslu Kabupaten Bogor, Irvan Firmansyah menuturkan, Bawaslu Kabupaten Bogor selalu memberikan keleluasaan kepada perempuan yang ingin berpolitik dengan tetap mengedepankan regulasi yang berlaku.

Sementara itu, Ketua KPPI Kabupaten Bogor, Dian Wahyuni Siregar menjelaskan, harapannya untuk KPPI Kabupaten Bogor agar semakin progresif dan bertambah anggotanya.

“KPPI hadir untuk mendorong aturan yang meningkatkan kualitas perempuan seperti; Partai Politik harus memberikan nomor urut satu pada pemilihan yang diwakili oleh perempuan di sejumlah wilayah. KPPI juga hadir untuk menjadi jembatan dan fasilitator bagi pemenuhan hak politik perempuan,” pungkasnya. (*/mam)