Adik Bungsu

0
37

Adik bungsu Perdana Menteri Singapura resmi masuk partai oposisi. Nama adiknya itu Lee Hsien Yang, 62 tahun.

Partai yang dimasukinya itu baru berdiri setahun lalu: Progress Singapore Party. Pendirinya: dr Tan Cheng Bock, 80 tahun.

Nama dokter itu melejit 2011 lalu. Saat ia nyapres di pilpres tahun itu. Ia hanya kalah tipis 0,35 persen dari Tony Tan –yang punya jabatan wakil perdana menteri.

Dokter Tan sebenarnya ingin nyapres lagi di Pilpres berikutnya –tiga tahun lalu.

Mendadak syarat-syarat jadi capres diubah. Pemerintah mengusulkan perubahan konstitusi. Muncullah kriteria baru untuk capres: harus suku Melayu.

Dokter Tan sudah berupaya menggugat kriteria baru itu. Kalah. Ia pun gagal nyapres. Di pilpres itu akhirnya hanya ada calon tunggal. Wanita. Halimah Yacob. Yang menjadi Presiden Singapura sampai sekarang.

Dokter Tan tidak surut berpolitik. Ia memang politikus kawakan. Dulunya ikut partai penguasa: People’s Action Party (PAP). Yang selalu menang pemilu. Sejak tahun 1968. Menangnya pun selalu di atas 60 persen.

Di partai penguasa itu dr Tan beberapa kali terpilih sebagai anggota DPR. Setelah Lee Kuan Yew meninggal ia tidak keluar dari PAP.

Tapi tetap berpolitik. Di luar pemerintahan.

Setelah gagal nyapres itu dr Tan mulai berpikir menyatukan semua partai oposisi. Ia kumpulkan pimpinan 7 partai oposisi. Untuk membentuk satu partai koalisi yang kuat.

Gagal.

Maka ia pun mendirikan partai baru tadi. Ia justru menambah jumlah partai. Kini kekuatan di luar PAP terpecah jadi 12 partai.

Semangat bikin partai baru ternyata juga terjadi di Singapura. Khususnya untuk Pemilu tiba-tiba ini: 10 Juli depan.

Popularitas dr Tan menarik hati Lee Hsien Yang. Adik bungsu Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.

Rabu lalu Hsien Yang menemui dr Tan.

Tempat pertemuannya pun dipilih di Pasar Tiong Bahru. Di kawasan Tanjung Pagar –tempat bersejarah bagi Lee Kuan Yew, pendiri Singapura yang hebat itu.

Lee Kuan Yew adalah ayah tiga anak yang sukses membawa Singapura dari negara dunia ketiga ke jajaran negara maju.

Lee Kuan Yew hanya punya peninggalan harta satu macam: rumah di Jalan Oxley Nomor 38.

Karena kakak sulung sudah menjadi perdana menteri rumah itu diwariskan ke adik bungsu: Lee Hsien Yang.

Tapi Hsien Yang sendiri sudah punya rumah.

Maka rumah waris itu ditempati kakak wanitanya: Lee Wei Ling. Yang sampai sekarang terus membujang. Yang tetap serumah dengan Lee Kuan Yew sampai ayahnya itu meninggal. Anak perempuan itu jadi pengganti ibu rumah tangga karena istri Lee Kuan Yew meninggal lebih dulu.

Lao Er dan Lao San itu memang selalu rukun. Hsien Yang mengizinkan Wei Ling tinggal di rumah warisan itu sampai meninggal dunia.

Kelak, setelah Wei Ling meninggal, Hsien Yang ingin rumah itu dirobohkan. Agar tidak ada kultus pada Lee Kuan Yew. Bahkan keduanya ingin sekarang saja rumah itu dirobohkan. Lalu dijual.

Tapi Lao Da tidak sependapat. Anak sulung itu menginginkan rumah warisan tersebut jadi museum. Untuk mengenang kebesaran ayah mereka.

Rumah itu harus diserahkan ke negara.

Itulah keputusan saudara sulung. Yang juga keputusan perdana menteri. Berarti begitulah keputusan Pemerintah Singapura.

Anak-anak Lee Kuan Yew itu pun bertengkar hebat. Dua lawan satu.

Pertengkaran berkembang: Hsien Yang dituduh merekayasa surat waris. Yang didalangi istrinya yang ahli hukum.

Perang keluarga itu meluas juga di medsos. Sampai minggu lalu si anak perempuan masih posting di Facebook: dia tidak percaya lagi Lee Hsien Loong. Baik sebagai saudara sulung maupun sebagai pemimpin.

Kini pertengkaran itu naik kelas lagi: ke politik.

Momentumnya memang ada: Lee Hsien Loong mengundurkan diri sebagai perdana menteri. Setelah pemilu nanti.

Sudah 16 tahun ia di jabatan puncak itu.

Partai penguasa sudah bulat: memilih Heng Swee Keat sebagai calon pengganti Lee Hsien Loong. Itu kalau Swee Keat terpilih sebagai anggota DPR di Pemilu nanti.

Partai penguasa sudah memastikan itu. Swee Keat sudah beberapa tahun menjabat wakil perdana menteri.

Di banyak negara sering terjadi keajaiban hasil Pemilu. Di Singapura hasil pemilu itu selalu seperti pinang dibelah dua.(Dahlan Iskan)