Menurut Fahri, MA memang diberi kewenangan konstitusional untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Karena itu, putusan MA yang mengabulkan gugatan Rahmawati dkk yang didaftarkan pada 14 Mei 2019 lalu, itu tidak termasuk kasus konkrit terkait sengketa hasil Pilpres.
“Karena ini merupakan pengujian norma abstrak, bukan melakukan pengujian kasus kongkrit terkait sengketa hasil Pilpres 2019, itu merupakan hal yang biasa dalam sistem hukum nasional kita saat ini,” jelas Fahri.
Jika gugatan Rachmawati dkk dikaitkan dengan sengketa hasil Pilpres, kata Fahri, hal itu tidak tepat karena hasil sengketa Pilpres 2019 yang bersifat kongkrit sudah diadu melalui mekanisme ketatanegaraan dan proses ajudikasi yang bersifat imparial serta objektif oleh Mahkamah Kontitusi (MK).
Dengan demikian, lanjutnya, putusan MK bernomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 tentang Pilpres sudah final dan mengikat serta tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, itulah konsekwensi dari sistem demokrasi konstitusional dan negara hukum yang demokratis yang kita anut,
“Jadi keabsahan dan legitimasi Presiden Jokowi dan Wakil Presiden KH. Maaruf Amin adalah legitimasi yang mempunyai basis legal-konstitusional,” papar Fahri Bachmid.
Fahri juga menuturkan, MA memiliki pendirian Yuridis dalam pertimbangan hukum terkait objek pengujian materiil yang dilayangkan Rachmawati dkk.