Pertimbangan hukum MA tentang hak uji materiil, tersebut adalah, ketentuan Pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5 Tahun 2019 Tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum,secara jelas menghilangkan syarat Presidential threshold sedikitnya 20 persen suara provinsi yang tersebar di Iebih dari (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.
Oleh karenanya, norma Ketentuan tersebut tidak mempedomani norma ketentuan diatasnya yakni pasal 416 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang merupakan norma yang disadur dari ketentuan Pasal 6A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
“MA berpendapat Bahwa ketentuan Pasal 416 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum BAB XII Penetapan Perolehan Kursi dan Calon Terpilih dan Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Bagian Kesatu Penetapan Perolehan Suara Presiden dan Wakil Presiden, tidak ada ketentuan dan perintah untuk dapat mengatur perihal penetapan pasangan terpilih apabila hanya terdapat 2 (dua pasangan) calon presiden dan wakil presiden, jadi pengaturan yang dibuat oleh KPU dalam PKPU tersebut adalah pranata yang tidak diperintahkan secara derivatif oleh aturan diatasnya, sehingga itu yang dinilai bertentangan dengan UU Pemilu,” ujar Fahri.
Disebutkan, Fahri, tidak ada ketentuan dan perintah untuk dapat mengatur perihal penetapan pasangan terpilih apabila hanya terdapat 2 pasangan Capres-Cawapres.
Bahkan, ketentuan pasal 416 ayat 1 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berbunyi Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pilpres dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
“Pendapat MA tentang ketentuan objek Hak Uji Materiil Pasal 3 ayat (7) PKPU Nomor 5 Tahun 2019 tidak dapat diakui keberadaannya dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena tidak diperintahkan dalam peraturan perundang-undangan di atasnya yakni UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang merupakan penjabaran ulang norma yang terkandung dari ketentuan UUD 1945 Pasal 6A sebagai peraturan tertinggi yang mana keberadaan pasal-pasal dalam UUD 1945 adalah pilihan dari pembuat UUD 1945 yang seharusnya tidak bisa dinilai,” sebut Fahri Bachmid.