“Jadi kami berpendapat bahwa KPU dalam membuat rumusan norma sebagaimana terdapat dalam ketentuan pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5/2019 telah mereduksi makna ketentuan pasal 6A UUD NRI Tahun 1945 dan pasal 416 UU No. 7/2017 Tentang Pemilu,sehingga ini merupakan ranah ajudikasi peradilan MA, yang tidak terkait dengan proses ajudikasi sengketa hasil yang telah selesai dan final di MK,” tuturnya.
Menurut Fahri, PKPU Nomor 5 Tahun 2019 bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat dan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, jenis Peraturan Perundang-undangan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Sedangkan objek hak uji materiil a quo tidak diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi serta tidak mencerminkan asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dengan pasal 416 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945.
“Jadi seluruh rangakain argumentasi itu sama sekali tidak terkait dengan masalah eksistensi keabsahan serta legitimasi Presiden terpilih. Itu adalah dua hal yang berbeda. Sejatinya putusan itu adalah karena KPU RI mereduksi norma ketentuan diatasnnya saja. Dan urusan Pilpres telah selesai,” pungkas Fahri Bachmid, yang juga Mantan Tim Kuasa Hukum Jokowi-KH. Maaruf Amin ini.
Untuk diketahui, putusan MA bernomor 44/P/PHUM/2019 baru diunggah pada laman MA pada 3 Juli 2020. Padahal uji materiil yang dilayangkan Rachmawati dkk tersebut diputuskan pada 28 Oktober 2019. Duduk sebagai Ketua Majelis Hakim adalah Hakim Supandi dengan Hakim Anggota Irfan Fachruddin dan Is Sudaryono. (jpg)