Di lapangan, rumah sakit pun mulai mengikuti imbauan Kementerian Kesehatan untuk menyamakan standar harga rapid test. Misalnya rumah sakit yang ada di bawah Eka Hospital Group. Grup yang memiliki empat rumah sakit di beberapa kota besar ini mulai menerapkan biaya Rp 150 ribu untuk rapid test.
Public Relation Eka Hospital Group, Erwin Suyanto menjelaskan bahwa biaya ini sama dengan modal operasional mereka. Sebelumnya rumah sakit ini memberlakukan tarif pasaran Rp 350 ribu. “Pasar ada yang Rp 500 ribu, Rp 480 ribu, kita usahakan selalu paling murah,” jelas Erwin.
Meski sudah terbilang cukup terjangkau, namun Eka tetap mengikuti imbauan Kemenkes sesuai SE Nomor HK.02.02/1/2875/2020. Per Rabu (8/7), rumah sakit ini telah menetapkan tarif baru Rp 150 ribu.
Di antara modal tersebut, Erwin menyebutkan rumah sakitnya menggunakan bahan baku impor dari Prancis. Sehingga harga bahan baku yang didapat berkisar Rp 78-80 ribu tergantung nilai dolar.
Ketua Umum Asklin, Dr Eddi Junaidi SpOG SH Mkes mengatakan, mereka bersiap menyurati Kemenkes.
Eddi mengatakan ada sekitar seribu klinik yang tercatat tergabung di Asklin. Dia menjelaskan surat yang akan dikirim isinya mempertanyakan kok bisa Kemenkes membuat patokan harga maksimal rapid test Rp 150 ribu. Keputusan ini tentu dapat memberatkan klinik atau fasilitas kesehatan lainnya.
Dia mencontohkan banyak klinik atau RS yang sudah membeli rapid test dalam jumlah besar dan dengan harga lebih dari Rp 100 ribu. ’’Saya contohnya sudah beli rapid test untuk 200 pemeriksaan. Harga alatnya Rp 200 ribu,’’ katanya kemarin. Lantas jika sekarang dipaksa untuk mematok harga Rp 150 ribu, tentu tidak masuk akal.
Eddi juga mencontohkan untuk kondisi di Indonesia bagian timur seperti di Papua. Pembatasan harga rapid test Rp 150 ribu dia nilai dapat memberatkan. Sebab fasilitas kesehatan masih harus menanggung biaya pengiriman. Selain itu dia mengatakan pengecekan rapid test juga melibatkan dokter serta tenaga kesehatan lainnya.
Dia mengusulkan supaya Kemenkes membuat kebijakan lebih masuk akal. Misalnya cukup memberikan harga acuan berdasarkan alat rapid test yang dibeli. ’’Misalnya tidak boleh melebihi seratur persen dari harga rapid test,’’ jelasnya. Eddi menegaskan di lapangan jenis alat rapid test beragam. Pemerintah sebaiknya bijak untuk memberikan keleluasan bagi masyarakat untuk memilih jenis rapid test.
Eddi mencontohkan ketika masyarakat memilih menggunakan rapid test dengan harga pokok Rp 200 ribu/unit, maka harga tertinggi Rp 400 ribu. Harga ini sudah komplit dengan surat kesehatan yang dikeluarkan oleh dokter.
Adanya pembatasan harga rapid test Rp 150 ribu, dikhawatirkan mengarahkan fasilitas kesehatan untuk membeli alat rapid test yang murah. Misalnya yang harganya sekitar Rp 75 ribu/unit. Cara seperti ini menurut dia tidak bijak. Sebaiknya masyarakat dan rumah sakit diberikan keleluasan untuk memilih alat rapid test. ’’Yang penting juga fasilitas kesehatannya transparan,’’ katanya.
Dia juga mengatakan kecenderungan saat ini penggunaan rapid test bukan murni terkait indikasi medis. Penggunannya lebih seperti medical check up (MCU). Seperti saat akan naik pesawat, permintaan kantor, dan sejenisnya. (wan/byu/deb/lyn)