RADAR BOGOR – Belakangan pemerintah tampak getol mengejar dan menangkap buronan lama. Djoko Tjandra serta Maria Pauline merupakan dua nama yang sudah muncul.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD secara aktif turut mengawal pengejaran Djoko dan penangkapan Maria. Wacana baru pun muncul dari mulut Mahfud. Menghidupkan Tim Pemburu Koruptor (TPK).
Mahfud menyebut, sejatinya tim pemburu koruptor sudah lama ada. Pembentukannya diatur oleh instruksi presiden (inpres). ”Waktu itu berlaku satu tahun, belum diperpanjang lagi,” kata dia.
Pria yang pernah bertugas sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menyampaikan, bakal coba memperpanjang inpres tersebut. ”Kalau nanti (inpres) itu diperpanjang langsung nyantol ke inpres itu, “ tambahnya.
TPK memang pernah ada. Di awal masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004, tim itu bergerak di bawah koordinasi Kemenko Polhukam.
Salah satu landasan pembentukan tim tersebut adalah Keputusan Menko Polhukam Nomor Kep-54/Menko/Polhukam/12/2004. Kemudian diperpanjang lagi lewat keputusan bernomor Kep-05/Menko/Polhukam/01/2009.
Melalui keterangannya Mahfud menyampaikan bahwa instansinya sudah memiliki instrumen untuk mengaktifkan lagi TPK. Serupa dengan sebelumnya, dia berniat menggerakan TPK di bawah koordinasi Kemenko Polhukam.
”Ya anggotanya pimpinan Polri, pimpinan Kejagung, pimpinan Kemenkum HAM,” bebernya. Dia tidak menyebut kapan tim itu kembali aktif. Hanya, pria asal Jawa Timur itu menyatakan dalam waktu dekat TPK kembali beroperasi.
Mahfud percaya diri, setelah TPK dibentuk, buronan sekaliber Djoko Tjandra yang licin bakal tertangkap. ”Nanti mungkin dalam waktu yang tidak lama, Tim Pemburu Koruptor akan membawa (menangkap) orang,” kata dia. ”Juga pada saatnya akan memburu Djoko Tjandra,” tegasnya.
Sejak Djoko kembali ke tanah air tanpa terdeteksi, Mahfud berulang meminta penegak hukum dari Kejagung dan Polri segera menangkap buronan itu.
Namun demikian, sampai kemarin yang bersangkutan tidak kunjung tertangkap. Buruknya, Djoko malah sempat membuat KTP dalam tempo kilat untuk mendaftarkan peninjauan kembali (PK).
Bebasnya Djoko berkeliaran meski sudah berstatus buronan membuat Mahfud geram. Dia sudah memanggil seluruh instansi terkait untuk membahas penangkapan Djoko. ”Malu negara ini kalau dipermainkan Djoko Tjandra,” imbuhnya.
Dengan kemampuan yang dimiliki oleh Kejagung dan Polri, Mahfud menyatakan, mestinya tidak sulit menangkap Djoko. ”Sehingga kalau ndak bisa (menangkap Djoko) keterlaluan lah,” kata dia.
Berdasar rapat terakhir dengan perwakilan dari Kejagung, Polri, Kemendagri, dan KSP, Mahfud menyatakan bahwa semua pihak masih berusaha mencari Djoko. ”Kami optimis, nanti cepat atau lambat akan kami tangkap,” tegasnya.
Langkah-langkah yang diambil Kejagung dan Polri, sambung Mahfud, didukung oleh data-data milik Kemendagri dan Kemenkum HAM. ”Mem-back up dari dokumen kependudukan dan keimigrasian,” ujarnya.
Sementara itu, KSP dihadirkan untuk memastikan sokongan instrumen-instrumen lain yang mereka butuhkan untuk menangkap Djoko Tjandra. Sehingga buronan tersebut bisa segera ditangkap.
Meski begitu, niatan Mahfud dinilai kurang tepat oleh Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM).
Direktur Pukat UGM Oce Madril menyatakan bahwa menghidupkan kembali TPK bisa jadi menambah birokrasi pengejaran buronan. ”Bisa jadi ada tim malah tidak efektif,” ungkap Oce kemarin. Menurut dia, tim bukan faktor yang menentukan pengejaran buronan sukses atau tidak.
Karena itu, TPK pernah dibubarkan. ”Dulu dibubarkan karena nggak efektif, menambah birokrasi baru,” tegasnya. Meski TPK sempat berhasil menangkap sejumlah buronan, Oce menyebut, lebih banyak yang gagal ditangkap.
Tidak heran saat itu pemerintah menutup tim tersebut. Dia khawatir TPK yang akan dihidupkan kembali oleh Mahfud mengalami nasib serupa. Menurut dia, saat ini lebih baik menguatkan regulasi ketimbang membentuk tim.
Oce mencontohkan, aspek pemenuhan regulasi yang dibutuhkan adalah undang-undang pemulihan aset. ”Mendorong RUU Asset Recovery itu lebih substantif,” imbuhnya.
Dengan regulasi yang memadai, penegak hukum bisa bergerak lebih leluasa. Sebaliknya, menambah tim untuk menangkap buronan justru berpotensi menghambat kerja-kerja penegak hukum. Padahal, mereka harus bergerak cepat untuk menangkap buronan. (syn)