Itu juga hanya penilaian dari luar. Saya juga pernah berbincang dengan ”orang dalam” dari pemilik baru BCA. Ada nada menyalahkan diri sendiri –setelah sekian tahun memilikinya. Sehebat-hebat langkah membeli BCA ternyata kalah hebat dengan yang membeli Astra International.
BCA dan Astra sama-sama harus dilepas oleh pemiliknya. Di waktu yang hampir bersamaan. Liem Sieo Liong, konglomerat No. 1 Indonesia saat itu, harus melepas BCA. William Soerjadjaya, konglomerat terbesar No. 2 Indonesia saat itu, harus melepas Astra.
Dua-duanya terkait dengan krisis moneter tahun 1998. Harga jual BCA dan Astra ketika itu kurang lebih sama. Sekarang ini, keduanya masih sama-sama hebat. “Tapi dengan uang yang sama, hasilnya ternyata lebih baik kalau membeli Astra,” ujar orang dalam itu. “Lihat sendiri perbedaan hasilnya sekarang. Lihat market capitalisation-nya. Begitu jauh,” katanya 8 tahun lalu.
Itu menandakan bahwa masih ada bisnis yang lebih hebat dari bank. Belum lagi soal aturan. Yang di perbankan jauh lebih rumit daripada di perusahaan umum seperti Astra. “Punya bank itu pusing. Pusingnya abadi,” ujar seorang teman yang memiliki bank.
Tidak ada peraturan yang lebih rumit daripada peraturan untuk menjadi pemilik bank. Pusing itu pula yang kini dirasakan oleh 7 pemilik bank bermasalah. Yang kini lagi diawasi ketat oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan).
Ups… Bukan tujuh pemilik. Tapi tiga pemilik: Bank Mayapada, Bank Bukopin dan Bank Yudha Bhakti. Yang empat pemilik bank lainnya mungkin tidak pusing: Bank BTN, Bank Banten, Bank Papua, dan Bank Muamalat.