Jika kita cermati rancangan Omnibus Law akan menemui banyak catatan dan kemunduran terhadap pendidikan di Indonesia.
Omnibus Law bidang pendidikan dan kebudayaan setidaknya merupakan amandemen dari 3 produk hukum undang-undang yang terkait dengan pendidikan, yaitu:, Undang-undang no. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang no. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Undang-undang no.12 Tahun 2012 mengenai Pendidikan Tinggi. Beberapa hal yang harus dikritisi, antara lain:
Dominasi Pemerintah Pusat
Semangat Omnibus Law ini adalah menjadikan Pemerintah Pusat (Presiden) sebagai Penguasa yang menentukan segala hal terkait penyelenggaraan Pendidikan. Pasal 62 RUU Omnibus law menyebutkan bahwa penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan non formal wajib memenuhi perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat, yang meliputi
isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.
Pasal ini mengubah pasal yang sebelumnya ada di UU Sisdiknas (UU Nomor 20/2003), yang mana kewenangan memberi izin dan mencabut diberikan ke Pemerintah daerah. Sekaligus, pasal ini berpotensi mempersulit peran serta masyarakat yang hendak mendirikan sekolah atau lembaga pendidikan, karena harus izin ke Presiden (?!), apalagi mereka yang tinggal di daerah-daerah yang jauh dan terpencil.
Kebijakan yang aneh dan menimbulkan pertanyaan kritis, apa maksud di balik semua ini? Padahal, selama ini sepanjang sejarah, sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan telah hadir memberi kontribusi nyata ikut mencerdaskan bangsa, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka !