Di buka bebas, yang penting mampu membuka lapangan pekerjaan. Di satu sisi lembaga pendidikan dalam negeri harus izin pemerintah pusat, di sisi lain lembaga pendidikan asing dipermudah. Aneh dan menimbulkan pertanyaan kritis, maksudnya apa..?
Tidak Memerlukan Sertifikasi Kompetensi
UU Omnibus Law menghapus ketentuan wajibnya sertifikat kompetensi untuk guru dan dosen. Artinya, siapa saja dapat menjadi guru atau dosen. Termasuk guru atau dosen dari Negara asing juga dipermudah, tidak harus memiliki sertifikat kompetensi mengajar, yang penting lulusan dari Perguruan Tinggi yang terakreditasi di negaranya.
RUU Omnibus Law ini juga menghapus pasal sanksi pidana atau denda maksimal Rp. 1 milyar bagi pihak-pihak yang memalsukan sertifikat kompetensi, atau ijazah atau gelar akademik sebagaimana diatur pada Pasal 67 UU Sisdiknas (UU No. 20/2003).
Dengan dihapuskannya pasal 67 ini, seolah pemerintah membiarkan terjadinya pemalsuan ijazah, sertifikat dan gelar akademik. Meskipun tindakan pidana pembuatan surat palsu sudah ada di KUHP (Pasal 263), namun isinya sangat umum dan tidak langsung terkait dengan tindakan pidana sebagaimana nyang dimaksud dengan pasal 67 UU Sisdiknas. Penghapusan ini sama sekali tidak berguna, bahkan menimbulkan kesan, demi untuk menciptakan lapangan kerja, boleh berbuat sesuka hati. (?)
RUU ini berpotensi menjadikan Pendidikan Nasional tercerabut dari akar filosofisnya, karena RUU ini memposisikan proses dan kelembagaan pendidikan sebagai instrument penggerak ekonomi belaka. Padahal, Pendidikan adalah proses menumbuhkan budaya yang luhur dalam kehidupan.
Proses pendidikan, menurut John Dewey (1950) adalah sebuah proses reorganisasi, rekonstruksi, transformasi pengalaman yang tiada henti. John Dewey memandang pendidikan bukan sebuah persiapan untuk hidup, melainkan bagian dari hidup itu sendiri.