Pengembangan vaksin tersebut memperhatikan tiga hal. Yakni, cepat, efektif, dan mandiri. Cepat diperlukan karena saat ini semua negara saling berlomba untuk mengembangkan vaksin. Kemudian, harus efektif.
Sebab, vaksin diharapkan cocok untuk Covid-19, terutama yang bertransmisi di Indonesia. ”Lalu, mandiri yang paling penting,” tegas mantan menteri keuangan (Menkeu) tersebut.
Pertimbangannya, Indonesia bukan negara kecil. Jumlah penduduknya mencapai 260 juta jiwa. Melihat fakta tersebut, Indonesia tidak bisa bergantung pada vaksin yang diperoleh dengan membeli dari luar negeri. ”Paling tidak separonya harus bisa diproduksi sendiri,” sambungnya.
Bambang mengungkapkan, pembiayaan pada tahap awal tidak tidak terlalu besar. Eijkman telah mengajukan pendanaan Rp 10 miliar untuk tahap awal, termasuk uji pada hewan. Biaya yang cukup besar justru dibutuhkan pada tahap selanjutnya, yakni uji klinis dan produksi.
Dana untuk uji klinis dan persiapan produksi diperkirakan mencapai Rp 60 miliar. Sementara itu, kebutuhan untuk produksi diprediksi mencapai Rp 20 triliun.
Dengan pembiayaan yang besar itu, pertanyaan berikutnya adalah berapa harga vaksin tersebut jika telah tersedia. Bambang mengaku belum bisa menetapkan harga vaksin yang bakal dijual. ”Karena vaksinnya pun belum ditemukan,” ujarnya.
Namun, sebelumnya dia sempat mendapat informasi dari Bio Farma. Harga pasaran vaksin baru berkisar USD 5–10. ”Standar harganya segitu. Yang dikembangkan Eijkman kan vaksin baru. Mungkin bisa lebih murah, tapi tak bisa jamin saat ini,” paparnya. (jpg)