Tentu bahaya sekali. Bibit virus itu bisa lepas. Lalu menyebar tak terkendali. Tiongkok menutup paksa lab di Shanghai itu. Saya ingat pertemuan saya dengan beberapa peneliti di Indonesia. Mereka merasa sangat sulit mendapatkan ”virus Covid-19” untuk bisa segera ikut meneliti.
Bagaimana bisa melakukan penelitian kalau tidak punya bahan baku yang harus diteliti.
Tiongkok sudah punya bahan baku penelitian itu jauh-jauh hari. Nun sejak akhir Desember 2019. Setidaknya sejak awal Januari.
Bahkan ketika Covid-19 masuk Indonedia tuga bulan kemudian bukan berarti para peneliti bisa dengan mudah mendapatkan bahan baku itu. Tidak sembarang orang bisa mendapat ijin untuk mengambil virus itu dari lab yang memeriksa pasien.
Saya pernah rapat-rapat dengan para peneliti independen dari IPB. Yang dipimpin Gus Hakiem, ahli genetika mulekuler. Gus Hakiem mengusulkan proposal itu dengan cara menyuntik ayam yang berumur 24 minggu. Tiap minggu. Selama sebulan. Suntikan itu berisi antigen (suspensi Covid-19 yang sudah dinonaktifkan).
Rapat-rapat kami dilakukan jarak jauh. Yang kami bicarakan adalah: memproduksi makanan tertentu yang anti Covid-19. Didasarkan pada dampak penyuntikan antigen tadi pada kuning telur ayam tersebut. Mereka sangat ahli. Lalu memiliki teori ilmiah versi mereka itu. Tapi rapat-rapat itu terhenti ketika tidak mungkin bisa mendapat ”contoh” virus itu dari lab yang ada.