Tentu bisa saja dengan cara curi-curi. Tapi kami tidak akan melakukan itu. Begitu besar risikonya. Akhirnya saya minta maaf tidak bisa meneruskannya.
Sebenarnya saya ingin sekali ahli-ahli dari IPB itu bisa mewujudkan teori mereka: imunisasi pasif melalui antibodi nutraceutical oral. Lewat teknologi yang mereka sebut immunoglobulin yolk (IgY).
Itu, ujar Dr Gus Hakiem punya prinsip yang sama dengan penggunaan plasma konvalesen dari darah orang yang sudah sembuh Covid-19. Tiongkok punya keunggulan bisa lebih dulu mendapatkan bahan baku berupa virus itu. Yang Donald Trump marah adalah mengapa Tiongkok tidak segera mengirimkan ”contoh” virus itu kepada mereka. Tiongkok tentu membantahnya.
Dengan menyebarnya Covid-19 ke Eropa dan Amerika, peneliti Barat pun segera melakukan penelitian. Dari segi waktu mereka juga berhasil dengan sangat cepat. Tidak kalah cepat dengan Tiongkok. Mungkin hanya berbeda tiga bulan.
Ahli dari Oxford University, Inggris, misalnya, minggu lalu juga sudah mengumumkan penemuan vaksin mereka. Hanya saja belum memasuki uji klinis tahap 3. Faktor lain yang membuat Tiongkok begitu cepat adalah: persetujuan untuk melakukan uji coba tahap 1 yang sangat cepat. Rapatnya pun cukup secara online. Ahli seluruh negeri diikutkan dalam rapat itu. Lembaga-lembaga ilmiah dan yang terkait perizinan disertakan.
Bahasa mereka sama: bahasa ilmu pengetahuan. Rapat pun tidak harus melebar ke soal-soal, misalnya, apakah perlu minta petunjuk Karl Marx dulu. Hanya dua jam rapat itu berlangsung. Persetujuan pun dikeluarkan. Secara online juga. Tepat pukul 2 siang, rapat ditutup. Uji coba klinis tahap 1 boleh dilakukan.