Meneguhkan Kesalehan Sosial di Tengah Pandemi

0
31
Asep Saepudin

BOGOR – RADAR BOGOR, Perayaan Idul Adha Tahun 1441 Hijriyah kali ini sangat berbeda dari masa-masa sebelumnya. Umat muslim seluruh dunia akan melaksanakan tiga momentum besar di Bulan Dzulhijjah tahun ini dalam serba keprihatinan dan keterbatasan ruang dan waktu.

Sebagaimana dimaklumi bersama, saat ini umat manusia di seluruh dunia dihadapkan pada wabah pandemi Covid-19 yang mengancam kelangsungan hidup manusia.

Begitu pun yang dihadapi umat Islam saat ini. Di tengah pandemi ini, umat Islam akan melaksanakan serangkaian ibadah mulia dan agung dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.

Ibadah tersebut yaitu pelaksanaan ibadah haji ke baitullah Makkah Al-Mukaromah, sholat Idul Adha dan penyembelihan hewan qurban.

Sebagai muslim yang taat, umat Islam di seluruh dunia tetap semangat dan antusias untuk menunaikan ibadah tersebut, tak terkecuali muslim Indonesia di seluruh peloksok tanah air.

Untuk pelaksanaan ibadah haji sendiri, Pemerintahan Saudi Arabia memberlakukan penutupan kedatangan jemaah dari luar. Ibadah haji hanya boleh diikuti oleh sebagian kecil penduduk sekitar Kota Suci Makkah saja, itu pun dengan pemberlakuan standar kesehatan yang ketat.

Adapun pelaksanaan ibadah sholat Idul Adha dan penyembelihan hewan qurban sendiri yang dilaksanakan di tanah air kita juga wajib mematuhi protokoler Covid-19 yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan berbagai pihak terkait seperti Kemenkes dan MUI. MUI telah mengeluarkan fatwa dan panduan berkenaan tata cara ibadah di tengah pandemi sebagai pedoman umat Islam.

Rangkaian pelaksanaan sholat Idul Adha tetap dilaksanakan sebagaimana tuntunan syariat Islam. Pelaksanan shalat idul Adha harus tetap dilaksanakan dengan tetap ada khutbah yang harus disampaikan walaupun durasinya yang harus dipersingkat.

Ini sebagai upaya meminimalisir kerumunan yang terlalu lama yang akan lebih bersiko. Ibadah sholat Id yang dilakukan sebelum penyembelihan hewan kurban merupakan amalan yang sangat mulia dan sangat tinggi derajat keutamaannya, termasuk duduk dan mendengarkan khutbahnya.

Ibadah ini merupakan perwujudan ketaatan dalam rangka taqorrub kepada Allah yang pengaplikasiannya berupa ibadah sosial.

Disebut ibadah sosial karena ibadah ini pelaksanaanya berkaitan erat dengan manusia lainnya. Sholatnya dilaksanakan secara berjamaah dengan berdiri, ruku, sujud dan duduk bersama secara khusuk mendengarkan khutbah, berbaur satu sama lain tanpa memandang strata sosial.

Sehingga terjalin ikatan batin yang erat yang menumbuhkan rasa sehidup sepenanggungan untuk saling mencintai, menguatkan dan meneguhkan keimanan kepada Allah.

Rasulullah bersabda, “Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh.

Jika salah satu anggotanya merasakan sakit, maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits lain Nabi bersabda, “Seorang mukmin terhadap mukmin (lainnya) bagaikan satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Apa yang disabdakan Rasulullah dengan dua hadits di atas melukiskan gambaran ideal umat Islam. Di masa Rasulullah dan generasi awal umat mukmin, keadaan itu merupakan realitas, bukan mimpi.

Bila kita merenungkan hadis-hadis di atas seraya membuka lembaran-lembaran sejarah kehidupan assalafus-shalih (generasi terdahulu yang saleh), niscaya kita akan menemukan kenyataan tersebut.

Pun halnya dengan penyembelihan hewan qurban yang dilaksanakan setelah rangkaian ibadah sholah Id. Ini merupakan bentuk taqorrub kepada Allah.

Diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta yang telah menganugerahkan kenikmatan dan rezeki yang melimpah. Maka perwujudan syukur itu dibuktikan dengan penyembelihan hewan qurban terbaik.

Dari hasil sembelihan tersebut, sebagian dagingnya boleh dinikmati oleh si pengurban, sebagian lainnya diberikan kepada fakir miskin dan sebagiannya lagi sebagai hadiah kepada orang yang mampu dengan tanpa memandang apakah dia seorang muslim atau bukan.

Inilah perwujudan kesalehan sosial. Semua orang ikut menikmati. Sehingga terjalin kebersamaan bahwa kedudukan semua manusia sama di hadapan Allah dan yang membedakannya hanya ketakwaannya saja.

Maka sebanyak apa pun harta yang dimiliki, sehebat apapun pangkat dan jabatan yang diampu dan setinggi apa pun penghormatan dan pengagungan yang disematkan manusia tidak akan bernilai apa-apa dihadapan Allah, jika tidak diikat dalam ketakwaan.

Berkacalah kepada ketaatan dan keteguhan hati Ibrahim yang rela mengorbankan putra yang dicintainya sebagai wujud ketakwaan kepada Allah.

Juga keikhlasan Ismail dalam menerima ketetapan dari Allah, sehingga dengannya ia tunduk dan patuh dalam penghambaan. Semua itu karena kekuatan iman dan takwa, yang dengannya tidak ada pembantahan sedikitpun.

Lantas ada apa dengan kita? Yang masih enggan untuk menyisihkan sebagian harta terbaiknya untuk dikorbankan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Allah tidak meminta anak kita untuk disembelih.

Tapi kita diminta untuk menyembelih hawa nafsu yang setiap saat hendak menggelincirkan kita ke jurang kebinasaan. Agar kelak kita kembali menghadap Allah dalam keadaan husnul khotimah. Selamat Hari Raya Idul Adha 1441 Hijriyah. Taqobbalallahu minna waminkum. (*)

Asep Saepudin

(Sekretaris Pusat Kajian Gender, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Visi Nusantara Maju)