Sholeh adalah pengacara terkenal di Surabaya. Yang kalau menggugat pemerintah hampir selalu menang. Yang pernah dihukum 2 tahun di akhir Orde Baru. Ia dianggap melakukan makar pada pemerintahan Pak Harto. Sholeh adalah tokoh PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang pernah dianggap komunis. Padahal Sholeh alumnus pondok Tebuireng Jombang, milik Gus Dur itu. (Baca DI’s Way: Anak Sholeh).
Sholeh pernah naik haji bersama sang kiai. Itu juga yang ia lihat. Tidak pernah tidur. “Ketika kita-kita tidur beliau tetap duduk, wiridan,” ujar Sholeh. Wiridan adalah mengucapkan kata-kata memuji Tuhan secara lirih.
Kiai Saifullah ini lahir di situ. Di desa Sentong itu. Ayahnya seorang petani –seperti umumnya warga desa Sentong. Di desa itu pula ia masuk SD. Sampai tamat. Lalu hilang.
Ia menghilang. Ia mengelana dari satu pondok ke pesantren lain. Dari satu tempat keramat ke makam berikutnya. Ia jalan kaki ke makam-makam wali songo. Tidak hanya di Jawa. Juga di seluruh Sumatera. Dari Lampung, Padang sampai ke Aceh.
Sholeh mengenalnya untuk kali pertama saat jadi santri di Tebuireng. “Ia sering ngebleng: tidak keluar kamar tiga hari tiga malam. Hanya duduk. Tidak makan tidak tidur,” ujar Sholeh.
Lalu menghilang lagi. Di pengembaraannya itulah ia menemukan perlambang singa putih. Yang mulutnya lagi mangap. Taringnya menyeringai. Itulah yang kemudian menjadi nama pondok pesantren di Sentong ini. Juga menjadi lambangnya. Dan judul lagu hymnenya: hymne yang diciptakan sendiri oleh sang kiai.