Jelaslah alasan pandemi adalah dicari-cari.
Itu lantaran taruhan sebenarnya bukanlah keselamatan umum akibat pandemi. Induk dari segala alasan –pun yang dicari-cari itu– adalah satu: kedaulatan negara. Bukan main marahnya dunia Barat. Soal penundaan Pileg ini langsung dibentrokkan dengan demokrasi. Barat pun mengusung isu sentral: demokrasi lawan totaliter. Seruan mereka: dunia harus menegakkan demokrasi di Hong Kong.
Keberanian Tiongkok mengabaikan opini Barat itu bertumpu pada satu: success story. Tiongkok berhasil mengentas setidaknya 1 miliar manusia dari kemiskinan absolut. Itu lebih banyak dari seluruh penduduk Eropa dan Amerika dijadikan satu. Pun dalam waktu singkat. Kurang dari 50 tahun.
Sementara banyak negara demokrasi yang sudah merdeka lebih 60 tahun belum bisa mengentaskan kemiskinan. Pun menghapus tanda-tandanya saja belum. Tiongkok menjadi syah beralasan bahwa kekuasaan bukan semata untuk kekuasaan. Kekuasaan adalah amanah untuk mensejahterakan rakyat dan memperkuat negara. Negara yang kuat bisa dipakai untuk mempertahankan kedaulatan.
Kini Tiongkok merasa kedaulatan itu terancam. Tiongkok perlu tegas di Hong Kong. Ini sekaligus seperti pedang dengan banyak mata. Dan mata terbesarnya dipelototkan ke Taiwan. Yang nada-nadanya juga kian tidak sabar untuk merdeka.
Taiwan dan Hong Kong mengembangkan rasa senasib. Hong Kong berkepentingan mendorong keberanian Taiwan untuk segera merdeka. Mumpung Donald Trump menjadi Presiden Amerika. Taiwan juga berkepentingan mendorong Hongkong untuk duluan merdeka. Mumpung Trump menjadi presiden.
Waktu saya berhari-hari berada di Taiwan akhir tahun lalu pertanda-pertanda seperti itu terlihat dengan nyata.