Titi menjelaskan, tren peningkatan calon tunggal yang terus naik disebabkan perubahan paradigma. Pada awalnya Mahkamah Konstitusi (MK) melegalkan calon tunggal sebagai solusi atas kebuntuan politik.
Kala itu tahapan pilkada kerap ditunda setelah hanya ada satu paslon akibat blocking politik yang dilakukan penantang guna menghentikan petahana.
Namun sayang, jalan keluar yang diberikan MK dengan skema kotak kosong ditunggangi elite partai politik untuk mencari jalan pintas. ”Calon tunggal yang awalnya untuk mengatasi kebuntuan politik kini jadi cara dalam mencari kemenangan,” imbuhnya.
Titi berharap masyarakat diberi edukasi dan pemahaman lebih mengenai aturan pilkada calon tunggal. Masyarakat harus tahu bahwa calon tunggal bukan hanya satu-satunya pilihan.
”Bukan tidak ada opsi kalau tidak setuju calon tunggal. Bukan berarti wajib dipilih,” tutur Titi. Berdasar pengalamannya memantau pilkada calon tunggal di Kabupaten Tangerang 2018, banyak masyarakat yang tidak memahami.
Dalam hal regulasi, Titi mengusulkan agar penyelenggara membuka akses informasi tersebut. Selain itu, perlakuan antara pasangan calon dan kotak kosong perlu disetarakan. Salah satunya dengan penyediaan alat peraga kampanye (APK) dan slot iklan di media bagi kotak kosong.