Kapal Rhosus harus diperbaiki di situ. Tapi tidak punya uang. Kapal harus lebih lama bersandar di pelabuhan Beirut. Berarti ongkos sandar pun bertambah-tambah. Apalagi harus membayar denda –akibat pembayaran yang tidak juga dilakukan.
Tapi muatan awal yang ada di kapal itu, kalau disita, masih ada harganya: bahan baku peledak itu. Asalkan kapal itu tidak tenggelam. Padahal di kapal itu mulai terlihat ada rembesan air.
Maka pihak pelabuhan membongkar bahan baku peledak itu. Agar tidak terpendam air. Dimasukkanlah bahan baku peledak itu ke gudang di pelabuhan itu. Ke gudang nomor 12.
Aman.
Setidaknya bisa untuk jaminan pembayaran ongkos sandar. Tidak disangka gegara ingin menyelamatkan uang receh ini bencana besar terjadi. Tujuh tahun kemudian –4 Agustus barusan. Yang merugikan negara Rp 300 triliun.
Ketika muatan bahan baku peledak itu sudah pindah ke gudang, awak kapal masih harus tetap di dalam kapal. Pekerjaan rutinnya: menguras air laut yang mulai masuk ke kapal. Mereka adalah 7 orang asal Ukraina. Satu orang kapten asal Rusia. Status mereka yang warga negara asing membuat awak kapal harus tetap di kapal.
Perusahaan kapal itu tidak mau tahu. Tidak lagi punya kemampuan keuangan. Belakangan perusahaan itu sendiri tidak bisa bertahan hidup: bangkrut. Untuk biaya sehari-hari awak kapal pun menjual minyak kapal. Mereka menyedotnya dari tangki kapal. Dijual eceran. Toh kapal tidak bisa jalan dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.