Anehnya, ketika kurva pandemi terus menanjak, dan ujung dari pandemi ini semakin tak bisa diramalkan, alokasi anggaran pemerintah untuk menangani isu ini justru berkurang drastis.
Hal ini menunjukkan bahwa basis pengalokasian anggaran pemerintah memang kurang realistis, atau tak jelas basisnya.
Muncul pertanyaan terkait anggaran PEN. Ada sebenarnya dasar pemerintah mengalokasikan anggaran Rp695 triliun untuk PEN? Perlukah anggaran sebesar itu, yang telah menyebabkan defisit APBN kita melonjak drastis? Kalau alasannya pandemi dan resesi ekonomi, mestinya alokasi anggaran untuk tahun depan jauh lebih besar, atau minimal sama, karena resesi global sebenarnya baru saja dimulai pertengahan tahun ini. Pada kenyataannya, anggaran PEN tahun depan berkurang hampir separuhnya, ketika pandemi dan resesi diproyeksikan akan terus memburuk.
Ketiga, perlindungan sosial untuk rakyat kecil justru dikurangi. Kalau kita lihat postur RAPBN 2021, anggaran Kementerian Sosial (Kemensos) tahun 2021 “hanya” berjumlah Rp92,82 triliun, alias turun dari anggaran tahun ini Rp134 triliun.
Konsekuensinya, sebagaimana diakui Menteri Keuangan, akan menyebabkan nilai bantuan sosial (bansos) tunai untuk 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM) juga akan turun. Nilai bantuan akan turun dari sebelumnya Rp300 ribu menjadi tinggal Rp200 ribu per KPM.
Dengan adanya penurunan kembali tahun depan, berarti sejak pandemi ini muncul pemerintah telah dua kali menurunkan nilai bansos. Semula, pemerintah memberikan bansos senilai Rp600 ribu per KPM. Jumlah ini kemudian diturunkan menjadi Rp300 ribu. Dan tahun depan akan kembali dipangkas menjadi Rp200 ribu.