Menilai dari data yang ada di Pengadilan Agama, kata Subai, pandemi Covid-19 dianggap tak terlalu berpengaruh signifikan pada kasus perceraian di Kota Bandung.
Misalnya, jika dibandingkan jumlah perkara perceraian Agustus 2019 dan Agustus 2020 tak terlampau jauh, masih di kisaran 500-an perkara.
“Justru, ada penurunan pendaftaran gugatan pada bulan Mei, saat puncak pandemi atau saat PSBB, karena pendaftaran secara langsung ditutup sementara,” ungkapnya.
“Pendaftaran hanya melalui online dengan sidang secara litigasi. Untuk perkara di bulan Mei hanya masuk 183,” ungkapnya.
“Dari data, pandemi tidak berpengaruh secara signifikan. Karena faktor ekonomi selalu begitu. Walaupun bisa saja memang ada pengaruh karena pendapatan berkurang,” tambahnya.
Sepanjang tahun 2019, total perceraian di Kota Bandung tercatat di 6.084. Tahun lalu, pihak perempuan juga menjadi yang paling banyak, dengan angka 4.670 cerai gugat, sedangkan cerai talak 1.141 perkara. Sementara tiga faktor yang juga mendominasi di tahun lalu adalah perselisihan, masalah ekonomi dan KDRT.
Subai mengatakan, rata-rata mediasi dalam perkara perceraian jarang yang berhasil. Kasus perceraian dikatakan sulit diurungkan. Perkiraan, kata Subai, dari 25 perkara, misalnya, paling satu perkara yang berhasil dimediasi (batal cerai).(muh/may)