Sebagai anggota parlemen, ia bahkan melihat kemunculan kelompok oposan di luar parlemen seperti KAMI ini merupakan hawa segar bagi “demokrasi” yang makin sumpek. “Selain membantu mengkritisi pemerintah, kehadiran KAMI juga turut membantu parlemen, juga partai politik, dalam hal otokritik,” ungkapnya.
Catatannya cukup jelas, jika parlemen dan partai politik menjalankan fungsinya, peka terhadap aspirasi masyarakat, melaksanakan fungsi “check and balances” terhadap kekuasaan, maka gerakan seperti KAMI ini sebenarnya tak akan muncul. “Kemunculan KAMI menunjukkan ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam fungsi parlemen, partai politik, pers dan institusi-institusi pilar demokrasi lainnya,” katanya.
Itu sebabnya, ia menilai tak perlu jengah terhadap kehadiran KAMI. Dan gerakan masyarakat sipil memang tak sepantasnya direspon dengan penilaian menyudutkan. Kehadiran ‘civil society’ merupakan bagian dari demokrasi, sekali lagi sama seperti halnya kehadiran pers dan partai politik.
Gerakan seperti KAMI selalu muncul di setiap periode pemerintahan. Dulu, pada masa Orde Baru, misalnya, ada kelompok Petisi 50. Sesudah Reformasi, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah muncul Petisi 28.
Tuntutan kelompok ini bahkan lebih keras ketimbang delapan tuntutan yang disampaikan KAMI, yaitu memobilisasi gerakan cabut mandat dengan target menurunkan presiden. “Toh kita tahu pemerintah dan semua lembaga negara pada waktu itu tak ada yang merespon dengan pandangan menyudutkan atau intimidasi dan kriminalisasi,” tandasnya.
Adanya gerakan moral seperti ini menunjukkan masyarakat sipil masih berfungsi sebagai elemen demokrasi. Ini hal yang positif.