“Saya baca, delapan tuntutan yang disampaikan KAMI kemarin semuanya tak ada yang menyimpang dari koridor hukum dan demokrasi. Mereka, misalnya, meminta agar para penyelenggara negara, khususnya pemerintah, DPR, DPD, dan MPR agar tidak menyimpang dari jiwa Pembukaan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat Pancasila. Tidak ada yang keliru dengan tuntutan tersebut. Sebagai anggota DPR, saya justru berterima kasih karena ada yang mengingatkan untuk apa dan siapa sebenarnya kita harus bersuara di parlemen,” paparnya.
Penilaian bahwa gerakan KAMI ini diisi oleh orang-orang yang kalah, atau pernah kalah, adalah ungkapan sinikal yang tak paham makna demokrasi. Sebab, dalam kacamata demokrasi, tak dikenal konsep “yang menang” dan “yang kalah”. Demokrasi hanya mengenal konsep “penguasa” dan “oposisi”, yang menunjukkan pentingnya mekanisme ‘check and balances’ dalam soal pemerintahan.
Jadi, tokoh-tokoh yang mendeklarasikan KAMI kemarin bukanlah “orang-orang kalah”. Sebagian merupakan ‘senior citizens’ yang punya reputasi terpuji. Mereka adalah orang-orang yang mewakafkan diri untuk meluruskan jalan yang bengkok. Dalam bingkai demokrasi, posisi mereka sangat terhormat.
“Di sisi lain, munculnya gerakan-gerakan seperti ini menunjukkan sedang ada masalah serius menggelisahkan masyarakat. Inilah poin paling penting yang seharusnya kita perhatikan,” jelasnya.
Masyarakat menilai, sesudah dua puluh tahun Reformasi, hampir semua tuntutan saat Reformasi kini sedang dijegal. ”Dulu kita menentang korupsi, misalnya, namun kini lembaga anti-korupsi justru dilemahkan. Dulu menentang nepotisme, kini nepotisme dianggap biasa. Semua itu telah mencederai rasa keadilan masyarakat,” ungkapnya.
Pada saat bersamaan, kanal-kanal politik yang seharusnya dapat menyalurkan kegelisahan publik dianggap macet. Semakin sedikit juru bicara rakyat.