Novi lahir di lereng Gunung Argopuro, Situbondo. Ia anak tunggal dari petani tidak tamat SD di desa Sumber Malang itu. Sejak tamat SD Novi sudah ingin masuk Pondok Pesantren Nurul Jadid. Pondok ini memang sangat terkenal. Namun Novi dianggap masih terlalu kecil untuk pisah dari orang tua. Letak desa itu jauh di pedalaman. Perlu waktu naik motor 1,5 jam untuk sampai di Nurul Jadid –tidak jauh dari ‘kota PLTU’ Paiton. Pondok ini memiliki SD, ibtidaiah, SMP, sanawiah, SMA, aliah, pun perguruan tinggi. SMA-nya pun ada dua: yang unggulan dan yang biasa.
Yang SMA unggulan itu muridnya harus bisa tiga bahasa sekaligus: Arab, Inggris, Mandarin. Begitu tamat SMP Novi masuk SMA unggulan itu. Kalau siang sekolah bahasa. Kalau malam ngaji kitab-kitab agama dalam bahasa Arab. Novi angkatan keempat di SMA unggulan itu. Guru bahasa Mandarinnya asli dari Tiongkok. Atas bantuan pemerintah sana lewat Konsulat Tiongkok di Surabaya. Waktu kelas 2 SMA Novi ikut lomba pidato bahasa Mandarin di Surabaya. Peserta non-Tionghoanya hanya tiga: Novi, satu rekannya dari Nurul Jadid, dan satu lagi dari pondok pesantren di Lirboyo Kediri. Selebihnya anak-anak Tionghoa.
Novi juara pertama. Ia dikirim ke Jakarta. Untuk lomba tingkat nasional. Yang tiga besarnya akan dikirim ke Xiamen, kota terbesar di Provinsi Fujian. Di Jakarta, Novi juara favorit. Ia pun mendapat beasiswa kuliah di Xiamen. Jurusan bahasa Mandarin pula. “Juara pertamanya anak Tionghoa dari Pontianak. Sekarang jadi biksu Buddha,” ujar Novi.
Ia belum tahu kapan bisa kembali ke Guangzhou. Namun profesor pembimbingnya di sana membuat target bahwa tahun depan Novi sudah harus maju disertasi. Kelihatannya ia akan menulis desertasi tentang Tionghoa Islam di Asia Tenggara. Selama libur Covid-19 ini Novi pulang ke Situbondo. Ia memanfaatkan waktu untuk menanam sengon di tanah milik ayahnya. Ia juga mulai menanam porang seluas 3 hektare di lereng gunung itu. “Kalau bisa saya ingin jadi pengusaha,” katanya. “Dapat pacar di Xiamen? Atau di Guangzhou?” tanya saya.
“Pacar saya di dekat Situbondo. Alumnus Nurul Jadid dan Pondok Modern Gontor,” jawab Novi. Kemarin Novi ke Surabaya. Itu karena diminta Bu Risma, wali kota Surabaya untuk menjadi penerjemah tamu dari Tiongkok. Namun tamu itu ternyata batal datang. Saat kuliah, Novi memang pernah menjadi penerjemah Risma waktu berkunjung ke Xiamen. Waktu itu Pemkot Surabaya minta agar Pemda Xiamen menyediakan penerjemah. Ternyata Pemda Xiamen menunjuk Novi. Sejak itu setiap ada rombongan dari Surabaya Novi lah yang diminta menjadi penerjemah.
Di antara pondok pesantren yang punya minat jurusan Mandarin, Nurul Jadid jawaranya. Sekarang ini sudah lebih 200 alumni Nurul Jadid yang lulus universitas di berbagai kota di Tiongkok. Kebetulan guru Mandarin pertama yang diperbantukan ke Nurul Jadid berasal dari suku Hui. Dari kota Chongqing. Berarti ia Islam –semua suku Hui adalah Islam. Maka guru Mandarin itu tiap hari berkopiah dan bersarung. Setelah masa tugasnya habis ia diganti guru dari suku Han yang tentu saja komunis. “Tetapi ia sering kami ajak bercanda untuk juga memakai sarung. Mau juga,” ujar Novi.
Kini SMA unggulan tiga bahasa di Nurul Jadid itu sampai menolak-nolak murid baru. Saking favoritnya. Saya pun ingin bermalam lagi di pondok itu. (dahlan iskan)