Sertifikasi penceramah yang demikian banyak apalagi melibatkan berbagai lembaga negara (BNPT, BPIP dll) juga bukan hal yang mudah dan murah, mengingat misalnya Kemenag dalam melakukan sertifikasi dosen dan guru saja masih memiliki banyak kendala dan masalah, apalagi dengan terbatasnya anggaran negara akibat merosotnya penerimaan pajak, dan kebijakan umum untuk realokasi anggaran agar difokuskan pada penanganan covid-19.
HNW bahkan khawatir, pelibatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam proyek sertifikasi ini akan memunculkan stigma radikal dan tidak pancasilais pada penceramah yang tidak bersertifikat.
Padahal, tolak ukur sertifikasi ini sangat tidak jelas dan tidak pernah disosialisasikan, diuji-publik, untuk menghadirkan hasil obyektif yang dipercaya oleh publi.
Sementara sejarah telah membuktikan para penceramah umat Islam (ustad, muballigh atau kiai) selalu berada di garda terdepan dalam mencerahkan Umat untuk membela NKRI baik dari ancaman penjajah asing maupun pengkhianatan PKI.
“Kini, Menag bukan hanya melupakan sejarah itu, tapi justru akan menghadiahi para penceramah dengan label radikal, intoleran, dan tidak pancasilais, kepada para da’i dan penceramah hanya karena dianggap tidak lulus program untuk mendapatkan sertifikat penceramah atau da’i, suatu hal yang tentu sangat menyakitkan hati umat Islam,” paparnya.
Anehnya, lanjut HNW, sekalipun begitu seriusnya Menteri Agama dengan wacana program sertifikasi hingga konon melibatkan MUI, BNPT, dan BPIP, Dirjend Bimas Islam malah menyatakan program ini tidak punya konsekuensi apapun.