Beberapa hari sebelum tertular itu, Prof Budi masih ceramah. Lewat Zoom. Di depan teman seangkatannya di SMAN 1 Blitar. Temanya: bagaimana menghadapi Covid-19 dengan cara Golden Way. Prof Budi adalah ahli penyakit dalam dari Unair. Sudah 20 tahun menyandang guru besar. Ia selalu menyarankan agar kita itu bisa berhitung. Agar bisa menentukan tingkat kewaspadaan. Ia menganjurkan agar semua orang ingat McD: masker, cuci tangan, distancing. Atau ada juga istilah JajaCutaPama (Jaga Jarak, Cuci tangan, Pakai masker). Selain itu, Prof Budi juga diminta kita semua agar hidup dalam 3E: exercise, eat well, dan enjoy life. Olahraga, makan bervitamin, dan banyak gembira.
Khusus untuk poin enjoy life itu, Prof Budi memasang foto Elvis Presley di slide-nya. Maksudnya: banyaklah menyanyi. Dan lagunya harus Elvis Presley –ia penggemar beratnya. Lihatlah penampilannya saat ceramah itu: rambutnya, kausnya, bentuk lengan atasnya, dan terutama –ehm– godeknya itu. Ia seperti tidak mau berumur 74 tahun. Perhatikan juga saat Prof Budi menjawab pertanyaan mengenai dokter yang tidak mau praktik –takut Covid-19. “Pada dasarnya dokter itu sudah melanggar sumpahnya,” ujar Prof. Budi. “Saya sendiri,” katanya, “Masih terus praktik. Pasien saya tiap hari 20 sampai 30 orang. Covid semua. Sembuh semua.”
Ia menerapkan Golden Way pada setiap pasien. Ia melihat dulu apakah pasiennya batuk, panas dan sesak nafas. Kalau pasiennya seperti itu ia lakukan oksitest. “Alat ini kan murah. Juga sederhana. Tinggal menjepitkannya ke ujung jari,” katanya. Ia pun memperagakannya di Zoom itu. Mudah sekali. Melihat sederhananya alat oksitest itu saya langsung telepon anak wedok saya: Isna Iskan. Agar dia segera membeli alat itu. Sekadar untuk jaga-jaga. “He he… telat. Sudah beli,” katanyi. “Dua hari lagi tiba.”
Terima kasih, Prof. Prof Budi tidak gampang minta pasiennya untuk melakukan swab test. Itu akan memakan waktu. Padahal pasien harus segera diobati. Maka ia pilih melakukan oksitest. “Kalau angka di oksitest di atas 94 berarti belum tentu terkena Covid,” katanya. Pun bila angka itu di bawah 94, Prof Budi masih akan melakukan satu tahap lanjutan. Juga bukan swab test, tetapi cukup dengan foto paru-paru.
Dari foto paru-paru itu –ditambah hasil oksitest dan batuk-panas-sesak– dokter sudah bisa mengambil kesimpulan: Covid-19. Lalu bisa segera ambil tindakan: memberi obat. Prof Budi lantas menunjukkan foto paru penderita Covid di layar Zoom. Prof Budi membocorkan juga apa saja obat yang diberikan ke pasien Covid-19. Nama obatnya. Dosisnya. Berapa kali seharinya. “Kalau harus swab test dulu pasien kehilangan golden time. Swab test itu bukan untuk menentukan jenis pengobatan. Dengan Golden Way itu tanpa swab dokter sudah bisa bertindak,” katanya. Saya setuju dengan prinsip-prinsip itu –meski saya tidak punya hak untuk bicara setuju atau tidak. Sayangnya Prof Budi tidak bisa menggunakan Golden Way untuk dirinya sendiri. Ia meninggal dunia.
Ia laki-laki (1 poin), di atas 60 tahun (1 poin), bersentuhan dengan penderita Covid tiap hari 20 orang (5 poin x 20), pernah punya asma (5 poin). Hitung sendiri, berapa poin yang dikumpulkan Prof. Budi. Pun, istri Prof Budi masih di ICU RS Darmo. Sampai tadi malam. Masih kritis. Tapi, kita doakan, beliau terus mampu bertahan. Dia masuk ICU hampir bersamaan dengan sang suami. Sang istri, wanita (nol poin), di atas 60 tahun (1 poin), pernah bersentuhan dengan penderita- suami (5 poin), memiliki sakit gula (5 poin).