Inilah yang kemudian ramai diperbincangkan banyak pengamat, aktivis dan pakar Pendidikan. Ikatan Alumni Pendidikan Sejarah UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) berpendapat bahwa reduksi mata pelajaran sejarah dengan hanya menjadi bagian dari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada kelas X dan mata pelajaran pilihan kelas XI dan XII SMA serta penghapusan mata pelajaran sejarah pada jenjang SMK dalam draft penyederhanaan kurikulum merupakan kekeliruan cara pandang terhadap tujuan Pendidikan.
Penghilangan mata pelajaran sejarah dengan hanya menjadikan sebagai pilihan berpotensi menghilangkan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Kegaduhan ini melengkapi persoalan issue liberalism, kapitalisme dan komersialisasi Pendidikan yang di ‘frame’ dalam pasal-pasal kluster Pendidikan di RUU Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law).
Lebih gaduh lagi, semuanmya ini dilakukan dalam suasana kecemasan kita menghadapi krisis pandemik covid 19 yang berpotensi mengancam negeri kita.
Dalam hal kebijakan Pendidikan nasional, terlebih lagi masalah Kurikulum, Pemerintah tidak dapat ‘seenaknya’ saja berjalan sendiri. Kurikulum Pendidikan Nasional menentukan arah pembentukan kompetensi dan karakter anak bangsa dan pencapaian tujuan Pendidikan nasional yang diamanahkan UUD 1945.
Kurikulum 2013 yang telah disusun dan digunakan selama ini, memang masih banyak yang perlu disempurnakan, atau disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman. Kita semua mengerti dan sepakat bahwa kurikulum perlu senantiasa disesuaikan mengikuti perkembangan llmu dan teknologi, dinamika dan kompetensi global dan juga desain pembangunan manusia Indonesia ke depan.
Namun hendaknya pengembangan kurikulum didasarkan pada evaluasi dan kajian pada kurikulum sebelumnya sehingga dapat diidentifikasi dengan tepat aspek dan konten yang akan dikembangkan. Dan juga, jangan sampai dalam proses penyederhanaan atau perbaikan kurikulum, kemudian memangkas konten-konten yang prinsip dan substantif.